REPUBLIKA.CO.ID, MANILA -- Perwakilan pemerintah Filipina dan gerilyawan Muslim pada Senin (25/1) menyatakan khawatir terhadap penyebaran ideologi radikal Islam di bagian selatan negara tersebut karena dinilai berpotensi merusak proses perundingan damai.
Kedua belah pihak mendesak parlemen Filipina segera mengesahkan undang-undang otonomi khusus bagi daerah Muslim di Mindanao demi mengadang gerakan radikalisasi, terutama di kalangan muda.
Gerilyawan Muslim di Filipina telah mengangkat senjata untuk memperjuangkan pemerintahan mandiri selama empat dekade terakhir. Konflik itu telah menewaskan lebih dari 120 ribu orang, membuat dua juta orang kehilangan rumah, dan memperlambat pertumbuhan ekonomi di salah satu negara paling miskin di Asia Tenggara tersebut.
"Bendera (radikalisme) telah dikibarkan dan tanda-tanda bahaya telah terlihat," kata Miriam Coroner Ferrer, kepala tim perunding pemerintah dengan Front Pembebasan Islam Moro (MILF) yang merupakan kelompok gerilyawan Muslim terbesar di Filipina.
Sementara itu ketua tim perunding dari MILF, Mohagher Iqbal, mengatakan pihaknya juga mengkhawatirkan penundaan pengesahan undang-undang otonomi karena dapat memunculkan frustasi di antara anggotanya.
"Faktanya, gerakan radikalisasi tengah bangkit di kalangan pemuda Mindanao. Gerakan itu ada, videonya menyebar ke mana-mana dan sangat sulit memerangi ide tersebut," kata dia.
Di sisi lain, pihak keamanan di Filipina mengatakan tidak ada bukti yang menunjukkan kelompok-kelompok garis keras lokal mempunyai hubungan dengan organisasi radikal di Timur Tengah. Namun demikian, beberapa video menunjukkan sejumlah gerilyawan Abu Sayyaf telah menyatakan baiat (sumpat setia) dengan kelompok bersenjata ISIS.