REPUBLIKA.CO.ID, CHISINAU -- Perdana Menteri (PM) Moldova Pavel Filip enggan memenuhi permintaan mundur dari pengunjuk rasa.
Lebih dari 20 ribu orang berdemonstrasi di ibu kota, Ahad (24/1). Mereka keberatan dengan pemerintahan Filip yang menerapkan oligarki kuat. Moldova mengalami krisis politik setelah 1 miliar dolar AS hilang dari Bank Moldovan Januari lalu. Dalam wawancara dengan BBC, Filip mengatakan kemundurannya bisa membahayakan negara.
"Kita bisa menemukan diri kita dalam krisis ekonomi dan sosial yang mendalam. Ada kemungkinan Moldova tidak akan mampu membayar gaji dan pensiun selama empat bulan," katanya kepada BBC, seperti dikutip Selasa (26/1).
Filip terpilih oleh parlemen dalam keadaan kontroversial pekan lalu. Pemilihannya dilakukan setelah mantan perdana menteri Vlad Filat ditangkap atas penipuan bank dan penggantinya Valeriu Strelet diberhentikan dalam mosi tidak percaya pada Oktober.
Namun, baik kelompok pro-Barat maupun kelompok pro-Rusia menuduhnya menggunakan sikap pro-Uni Eropa untuk menyembunyikan tindakan korupsi. Filip mengklaim, rakyat Moldova memiliki sedikit kepercayaan terhadap para pemimpinnya.
Dia minta diberikan lebih banyak waktu.
"Saya meminta para pengunjuk rasa dan mitra internasional kami, jangan menilai pohon dengan akar, tetapi buahnya," katanya.
Namun, ia menegaskan Moldova tidak akan melunakkan program reformasi yang ditetapkan berdasarkan perjanjian aksesi yang ditandatangani dengan Uni Eropa pada 2014. Dan ia bersumpah tidak akan ada toleransi untuk protes kekerasan setelah beberapa demonstran memblokir jalan-jalan ke ibu kota pada Ahad lalu.
"Setiap tindakan dari para pengunjuk rasa yang bisa dianggap sebagai pelanggaran hukum akan disanksi," ujarnya.
Moldova adalah negara termiskin di Eropa dan penipuan bank menyebabkan terjadinya penurunan nilai mata uangnya, Leu dalam waktu cepat. Ini membuat standar hidup masyarakat menurun.