REPUBLIKA.CO.ID, STOCKHOLM -- Seorang aktivis hak asasi manusia Swedia yang ditahan Cina sejak awal Januari telah dibebaskan.
"Peter Dahlin sekarang dapat bertemu kembali dengan keluarganya di Swedia. Ini adalah hasil hubungan yang erat antara Kementerian Luar Negeri Swedia dan perwakilan Cina," ujar Menteri Luar Negeri Swedia Margott Wallstron dalam sebuah pernyataan dilansir dari Channel News Asia, Selasa (26/1).
Dahlin yang bekerja untuk Chinese Urgent Action Working Group menghilang pada awal bulan ini saat akan menaiki pesawat ke Thailand. Penahanannya terjadi saat Cina menganggap undang-undang baru untuk mengawasi kegiatan warga asing di organisasi non-pemerintah (LSM) yang meningkatkan kekhawatiran di kalangan kelompok di luar negeri.
Kelompok Dahlin telah menawarkan pelatihan kepada pengacara Cina untuk memperbaiki pelanggaran pemerintah. Media pemerintah CCTV pekan lalu menayangkan rekaman Dahlin yang meminta maaf kepada Cina atas dugaan perbuatannya.
Warga Swedia lainnya yang terlahir di Cina, penjual buku Gui Minhai juga menghilang dari Thailand akhir tahun lalu sebelum muncul kembali di televisi nasional Cina sebagai tahanan polisi. Ia mengaku melakukan pelanggaran dalam mengemudi dan mengatakan tidak ingin Swedia mengganggu kasusnya.
Namun Gui tersebut dikabarkan akan menyiapkan pengiriman semua buku tentang kehidupan asmara Presiden Xi Jinping. Wallstrom mengatakan, ia sangat prihatin tentang Gui. Ia ingin mendapatkan gambaran yang jelas tentang situasi dan kemungkinan untuk mengunjunginya.
Pengakuan paksa publik adalah praktik lama di Cina Komunis yang telah terjadi sejak Presiden Xi mengambil alih kekuasaan pada 2012.
Duta Besar Uni Eropa untuk Cina Hans-Dietmar Schweisgut menyebut penangkapan Dahlin dan pengakuan di televisi merupakan bagian dari tren yang mengkhawatirkan. Tindakan tersebut memunculkan pertanyaan kehormatan Cina pada aturan hukum dan kewajiban HAM internasional.
Kelompok advokasi jurnalisme Reporters Without Borders pekan lalu mendesak Uni Eropa menjatuhkan sanksi terhadap media pemerintah Cina karena pengakuan paksa.