REPUBLIKA.CO.ID,HEBRON -- Untuk mencapai rumah sendiri, beberapa warga Palestina di wilayah pendudukan memilih jalan panjang memutar demi menghindari pos pemeriksaan Israel di Tel Rumeida. Jalan setapak kotor dan sulit jauh lebih disukai ketimbang risiko ditahan selama berjam-jam di pos pemeriksaan.
Tentara Israel muncul di rumah Ahmad Azzah di bagian selatan kota Hebron, Tepi Barat, akhir tahun lalu. Mereka membawa gulungan stiker putih kecil. Hari itu, semua orang Palestina di lingkungannya mendapat nomor identitas.
"Keluarga saya mendapat nomor enam. Mereka mengambil semua kartu identitas kami dan mendaftar, kemudian memberi kami nomor,' kata Azzah, dilansir dari Al Jazeera, Kamis (4/2).
Azzah dan keluarganya tinggal di Tel Rumeida, sebuah lingkungan di sektor H2 Hebron yang berada di bawah kendali penuh Israel. Pada 1 November 2015, sebulan setelah gelombang baru kekerasan melonjak di Tepi Barat, lingkungan itu dinyatakan sebagai zona militer tertutup.
Sistem baru pun diperkenalkan. Warga diberi nomor pada kartu identitas mereka dan hanya orang-orang dengan nomor yang diizinkan keluar masuk. Namun, pos pemeriksaan kadangkala tetap bisa membuat mereka tertahan selama berjam-jam.
Untuk dapat keluar-masuk Hebron lebih mudah, beberapa orang Palestina kemudian mulai memanfaatkan jalan setapak tanah di tepi Tel Rumeida yang biasanya tidak dijaga oleh tentara Israel. "Sekarang, kami hidup seperti tahanan," kata Azzah.
Senada, Muhannad Qafesha, seorang mahasiswa di Universitas Hebron yang tinggal di Tel Rumeida mengaku sering menggunakan jalan setapak daripada harus ditahan selama berjam-jam di pos pemeriksaan. Qafesha berpendapat, keberadaan pos pemeriksaan dan sistem nomor itu dilakukan untuk intimidasi.
Menurutnya, tentara Israel memberi penduduk Palestina nomor dan membangun pos pemeriksaan untuk mencoba membuat hidup mereka sulit sehingga semua orang Palestina akan meninggalkan daerah itu. Dengan demikian, para pemukim Yahudi bisa mengambil alih Hebron sepenuhnya.
"Kami tidak tahu berapa lama ini akan berlangsung," kata Qafesha. "Yang saya tahu, orang-orang di sini tidak akan meninggalkan rumah mereka dan memberikannya kepada Israel. Ini adalah tugas kita di Hebron untuk tetap tinggal dan bertahan melewatinya," kata mahasiswa itu.