REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- Sejumlah tahanan disiksa oleh pasukan keamanan Thailand dalam kemelut di bagian selatan negara itu, kata kelompok hak asasi, Selasa (9/2). Tentara diduga melakukan pemukulan, penghentian oksigen dan ancaman kematian.
Undang-undang keamanan khusus diberlakukan di provinsi berpenduduk sebagian besar Muslim di ujung selatan Thailand, tempat lebih dari 6.500 orang, kebanyakan warga, tewas dalam pemberontakan 12 tahun terhadap pemerintah. Di bawah darurat militer, terduga pemberontak dapat ditahan enam pekan tanpa jaminan, kata laporan kelompok hak asasi, yang merekam penyiksaan luas itu dan akan diumumkan pada Rabu.
Penelitian langka di wilayah berbahaya itu menemukan 54 penyiksaan mental dan fisik atau perlakukan kejam antara 2014-2015, sering terjadi di markas militer. Terduga mengalami pemukulan, todongan senjata, penyiksaan terhadap panca indera dan pencekikan sering terjadi selama penahanan, kata peneliti.
"Yang kami catat adalah puncak gunung es," kata Pompen Khongkachonkiet dari Yayasan Cross Cultural, salah satu kelompok peneliti. Keadaan telah memburuk sejak kudeta Thailand pada 2014 menyebabkan militer berkuasa, tambah perempuan itu.
"Dengan tidak ada pertanggungjawaban atau pengawasan mekanisme sejak kudeta, petugas hampir bertindak seenaknya terhadap tahanan," katanya.
Pemberontak mencari otonomi lebih besar dari Thailand, yang mencaplok wilayah lebih dari satu abad lalu, dan telah melakukan taktik kejam termasuk penembakan tanpa pandang bulu, pemenggalan dan pemboman.
Salah satu tersangka, Weasohok Doloh mengatakan dia ditahan pada Mei 2015 dalam dugaan keterlibatan pengeboman. Dia menyangkal dugaan itu. Dia dibawa ke dalam kamp militer Inkayuth, suatu pusat penyelidikan di provinsi Pattani, tempat dia diduga disiksa selama beberapa hari.
"Awalnya mereka hanya menampar saya," kata pria 32 tahun tersebut. Tapi penyiksaan memburuk dan setelah beberapa hari dia diduga ditelanjangi oleh tiga penyelidik yang juga mengikat tangannya.
"Tiba-tiba salah satu (penyelidik) mendorong saya ke kursi dan menutup kepala saya dengan kantong plastik secara paksa. Saya tidak bisa bernapas. Mereka melepaskan kantong itu ketika saya berkata akan mengaku. Tapi saya tidak punya apa-apa untuk diakui, sehingga mereka melakukannya lagi," katanya.
sumber : Antara
Advertisement