Rabu 24 Feb 2016 06:15 WIB

Panglima Myanmar Menentang Perubahan Konstitusi

Pemimpin oposisi Myanmar Aung San Suu Kyi.
Foto: Reuters
Pemimpin oposisi Myanmar Aung San Suu Kyi.

REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Panglima Angkatan Bersenjata Myanmar Min Aung Hlaing menentang keras tiap perubahan cepat konstitusi.

Pernyataan tersebut muncul, Selasa (23/2), kurang dari sepekan setelah pertemuan peralihan pemerintahan ketiga antara Min Aung Hlaing dan pemimpin demokrasi Aung San Suu Kyi.

Dokumen 2008 itu, yang melarang Suu Kyi menjadi presiden bahkan setelah partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) meraih suara mayoritas dalam pemilihan bersejarah tahun lalu, menjadi rebutan antara partai dan militernya. Suu Kyi telah bersumpah untuk mengabaikan konstitusi itu dan memimpin negara dari atas presiden.

Min Aung Hlaing mengatakan konstitusi yang disusun junta sebaiknya diubah pada waktu yang tepat sesuai dengan ketentuan undang-undang. Beberapa anggota dan pakar senior NLD berspekulasi ketentuan yang melarang Suu Kyi menjadi presiden bisa ditangguhkan sementara sebagai bagian dari kesepakatan pembagian kekuasaan antara angkatan bersenjata dan NLD.

"Sejak Myanmar menjalani demokratisasi hanya untuk lima tahun, ketentuan yang diperlukan harus diubah pada waktu yang tepat sesuai dengan pasal XII konstitusi," kata surat kabar Myawady yang dikelola militer mengutip pernyataan Min Aung Hlaing pada pertemuan dengan perwira militer pada Senin.

Pembicaraan antara kedua belah pihak terkait peralihan politik yang berlarut-larut di tengah laporan pimpinan militer telah memperoleh perpanjangan lima tahun. Militer mundur dari kekuasaan langsung terhadap Myanmar pada 2011 setelah hampir 50 tahun berkuasa.

Di bawah pemerintahan semi-sipil yang berlangsung, militer masih memegang kekuasaan politik yang cukup besar dan Suu Kyi akan perlu menjalin hubungan dengan angkatan bersenjata untuk memerintah secara efektif.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement