REPUBLIKA.CO.ID, KIEV -- Organisasi Keamanan Eropa menyatakan keprihatinan mendalam terhadap pelanggaran gencatan senjata di timur Ukraina pada Senin (29/2). Organisasi tersebut juga mendesak pemerintah Rusia dan Ukraina memenuhi komitmen perjanjian damai yang ditandatangani tahun lalu.
Dewan Keamanan PBB sebagai ketua Organisasi Keamanan dan Kerja Sama di Eropa, Menteri Luar Negeri Jerman Frank-Walter Steinmer mengatakan, mplementasi perjanjian Minsk adalah satu-satunya cara solusi politik di Ukraina.
Ia mengatakan, menteri luar negeri dari Normandy Group (Jerman, Prancis, Rusia dan Ukraina) akan bertemu di Paris pada Kamis (3/3). Mereka mencoba mencapai kemajuan situasi keamanan dan undang-undang pemilu baru untuk wilayah Donbas, Ukraina timur yang meliputi Donetsk dan Luhansk.
"In adalah syarat utama untuk pemilihan yang seharusnya berlangsung pada semester pertama tahun ini," katanya.
Setelah tersingkirnya Presiden Viktor Yanukovykh pada 2014, Rusia merebut Semenanjung Krimea dari Ukraina. Separatis berbahasa Rusia di wilayah Donetsk dan Luhansk meluncurkan protes yang meningkat menjadi perang, menewaskan lebih dari sembilan ribu orang.
Februari 2015, perjanjian Minsk telah membantu mengurangi pertempuran di Ukraina timur, tetapi pertempuran terus terjadi dan ada sedikit kemajuan dalam mewujudkan penyelesaian politik.
Pihak yang bertikai menyalahkan satu sama lain untuk berbagai pelanggaran.
Duta besar Ukraina untuk PBB Volodymyr Yelchenko menuduh Rusia melakukan perang hibrid melawan Ukraina. Hal ini ditandai dengan penemuan alasan buatan untuk invasi, pengiriman pasukan reguler dan penggunaan propaganda mematikan. Ia memperingatkan situasi di Donbas bisa meningkat.
Yelchenko mengatakan, langkah Ukraina menuju pelaksanaan perjanjain Minsk belum dibalas Rusia. Namun ia mengatakan, Kiev siap untuk sepenuhnya melaksanakan kesepakatan dan bergerak maju pada semua aspek termasuk pemilihan lokal di daerah tertentu dari Donbas.
Dubes Rusia untuk PBB Vitaly Churkin menuduh Ukraina melanggar perjanjian Minsk dengan menggunakan persenjataan berat, bukannya menarik pasukannya. Ukraina gagal mengadopsi undang-undang tentang status khusus Donbas, amnesti dan pemilu sebagai yang dibutuhkan perjanjian.