REPUBLIKA.CO.ID, TORONTO — Petani perempuan di lebih dari 90 negara, mendapat perlakuan diskriminatif terkait kepemilikan lahan untuk produksi dan mengatasi kemiskinan. Padahal bangsa-hukum bangsa-bangsa di Afrika Timur dan Selatan berupaya memberikan hak kepemilikan kepada petani perempuan.
Sebagaimana diungkapkan mantan Menteri Pertanian Rwanda, Agnes Kalibata, kenyataannya banyak negara di Afrika Utara dan Asia Selatan terus memperlakukan perempuan sebagai warga kelas dua terkait kepemilikan tanah.
"Di Afrika, enam dari 10 wanita bergantung pada lahan untuk mata pencaharian mereka. 30 persen wanita memiliki akses lahan di Afrika timur dan selatan, dibandingkan dengan di Afrika utara dan tengah, yang kurang dari 10 persen," kata Agnes kepada Reuters dalam rangka Hari Perempuan Internasional, seperti dilansir Kuwait Times, Selasa (8/3).
Seharusnya kata Agnes, para petani perempuan memiliki akses ke alat-alat produksi di tanah yang dimilikinya. Apalagi, mata pencaharian tersebut merupakan penghidupan bagi dia dan keluarga.
Selain itu, produktifitas pertanian juga mendera petani perempuan yang cenderung terhambat dalam investasi dan meningkatkan lahannya, tanpa kepemilikan formal. "Sehingga sulit untuk memberi makan 795 orang kelaparan di seluruh dunia," ujarnya.
Ia mengatakan, di banyak negara berkembang lainnya, sertifikat tanah disimpan atas nama suami. Hal itu juga memudahkan bagi janda untuk mewarisi ketika suami mereka meninggal.
"Jika perempuan tidak dapat mewarisi tanah, kita melihat kelanjutan dari ketidaksetaraan antara jenis kelamin. Satu-satunya cara kebanyakan orang miskin mendapatkan sumber daya dalam hidup mereka adalah untuk mewarisi, mereka tidak memiliki uang untuk membeli tanah," katanya mengungkapkan.