REPUBLIKA.CO.ID, JUBA--Sudan Selatan akan memangkas jumlah staf di kedutaan di seluruh dunia untuk menghemat biaya. Hal tersebut dikatakan Departemen Luar Negeri seirng adanya konflik dan rendahnya harga minya yang bedampak pada keuangan pemerintah.
Negara termuda di dunia itu terlibat perang saudara pada akhir 2013. Saat itu krisis politik memicu pertempuran antara pasukan yang setia kepada Presiden Salva Kiir dan pemberontak yang bersekutu dengan mantan wakilnya Riek Machar.
Ekonomi Sudan Selatan telah terpukul sejak itu. Mata uang negara tersebut meleah, inflasi dan pendapatan dari minyak turun karena jatuhnya produksi dan penurunan harga minyak dunia.
"Kementerian Luar Negeri dan kerjasama internasional berencaa mengurangi atau menghemat staf di kedutaan luar negeri," katanya dalam sebuah pernyataan.
Dalam pernyataan tersebut ditegaskan, Sudan Selatan tidak menutup kedutaan besarnya melainkan mengurangi jumlah staf untuk mengurangi pengeluaran akibat krisis ekonomi. Anggaran Sudan Selatan 2015-2016 ditetapka sebesar 10,3 miliar pound Sudan Selatan. Angka tersebut turun dari 11 miliar pada 2014-2015. Sudan Selatan memiliki 28 kedutaan di seluruh dunia.
Kedua pihak yang terlibat konflik, di bawah tekanan Amerika Serikat, PBB dan kekuatan lainnya menandatangani perjanjian pedamaian awal Agsutus. Mereka setuju untuk berbagi posisi menteri pada Januari tapi kesepakatan rusak berulang kali.
Pada Februari, Kiir kembali ditunjuk Machar sebagai wakil presiden guna meningkatkan terobosan setelah berbulan-bulan negosiasi bermasalah dan gencatan senjata gagal.