Selasa 22 Mar 2016 07:14 WIB

Harapan Perubahan di Myanmar Bendung Arus Migran Rohingya

Pengungsi Rohingya di dalam perahu.
Foto: AP Photo/Binsar Bakkara
Pengungsi Rohingya di dalam perahu.

REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- Badan Pengungsi PBB menyatakan membaiknya harapan suku minoritas Muslim Rohingya di Myanmar terhadap pemerintahan baru Aung San Suu Kyi mendorong menurunya jumlah pengungsi yang nekat menyeberang lautan untuk mencari kehidupan yang lebih baik.

"Menjelang berakhirnya musim ketika kapal-kapal penyelundup biasanya mengangkut kargo manusia menyeberangi Teluk Benggala, jumlah migran yang meninggalkan Myanmar turun tajam tahun ini. Jumlah orang yang datang jauh lebih sedikit dibandingkan tahun lalu," kata Volker Turk, asisten komisioner tinggi untuk perlindungan UNHCR kepada Reuters setelah menghadiri acara mengenai pengungsi di Bangkok.

Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang dipimpin Suu Kyi tengah membentuk pemerintahan yang akan mulai berkuasa pada 1 April.

Suu Kyi dan NLD dikritik karena tidak banyak berbicara mengenai bagaimana mereka akan mengatasi situasi Rohingya di Rakhine, dimana sekitar 140 ribu orang masih berada di kamp-kamp.

Arus migran dan pengungsi ke Thailand dari kawasan-kawasan konflik di wilayah lain di Myanmar juga berkurang karena warga mengharapkan perbaikan di bawah pemerintahan NLD, kata Duta Besar UE untuk Thailand Jesus Sanz.

"Perubahan positif di Myanmar merupakan penyebab utama penurunan jumlah ini," kata Sanz kepada Reuters.

"Masih perlu dilihat seberapa cepat pemerintah Myanmar akan mampu menstabilkan situasi di sana dan memberikan peluang nyata bagi orang-orang ini."

UE membantu mendanai kamp-kamp di Thailand di dekat perbatasan dengan Myanmar, yang menampung lebih dari 100 ribu pengungsi.

PBB berharap perubahan politik di Myanmar akan memungkinkan para pengungsi itu, sebagian diantaranya sudah tinggal di Thailand selama beberapa dekade, untuk pulang.

"Saya harap pemulangan sukarela akan menjadi satu kemungkinan dalam masa satu atau dua tahun," kata Volker.

sumber : Antara/Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement