Ahad 03 Apr 2016 17:35 WIB

43 Persen Warga Inggris Pilih Tinggalkan Uni Eropa

Rep: Melisa Riska Putri/ Red: Winda Destiana Putri
Bendera Inggris
Bendera Inggris

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Dukungan untuk Inggris meninggalkan Uni Eropa mencapai 43 persen. Sementara dukungan untuk tetap dalam kelompok beranggotakan 28 negara itu sekitar 39 persen.

Keputusan apakah Inggris akan tetap di dalam Uni Eropa bisa bergantung pada apakah orang-orang muda apatis atau memberikan suara mereka pada 23 Juni nanti.

Ini menjadi pukulan bagi David Cameron dan kubu pro-UE berdasarkan survei daring oleh Opinium. Ia hampir dipastikan harus mengundurkan diri sebagai perdana menteri jika suara yang terpilih adalah Pergi.

Sementara sebanyak 18 persen pemilih mengatakan ragu-ragu dan satu persen menolak untuk mengatakannya. Sebagian besar mereka yang mengatakan 'tidak tahu' ketika mulai didesak untuk menyatakan pendapatnya mengaku lebih condong ke arah Tetap. Ini menawarkan harapan kepada pihak pro-UE.

Strategi pemerintah dan lembaga survei secara pribadi mengakui masalah utama untuk sisi Tetap adalah dukungan untuk bertahan di UE yang terkuat adalah kalangan orang muda. Namun kelompok tersebut sangat kecil kemungkinan untuk memilih.

Opinium menemukan pada kelompok usia 18-34 tahun, 53 persen mengatakan mereka ingin tetap di UE, sementara 29 persen ingin pergi. Namun hanya lebih dari setengah (52 persen) dalam kelompok usia ini yang mengatakan benar-benar akan memberikan suaranya pada pemilihan nanti.

Di antara pemilih pada kategori usia 55 tahun lebih, dukungan untuk meninggalkan UE jauh lebih besar. Kepastian mereka untuk memilih, menawarkan keuntungan yang sangat besar ke sisi Pergi.

Sekitar 54 persen dari pemilih berusia 55 tahun lebih mengatakan, mereka ingin melawan 30 persen yang menginginkan Inggris tetap di UE. Tapi kontras dengan pemilih muda, 81 persen dari kelompok ini

Adam Drummond dari Opinium mengatakan hasil penelitian menunjukkan koalisi dukungan untuk Tetap tampak jauh lebih besar dibanding untuk Pergi.

"Ini menunjukkan bagaimana tingkat partisipasi pemilih akan menjadi penting, terutama mengingat kesenjangan antara bagaimana kaum muda dan tua untuk memilih," katanya dilansir dari The Guardian.

Ia mengatakan, orang muda jauh lebih pro-UE namun sangat kecil kemungkinannya untuk mengganggu pemungutan suara.

Kelompok Tetap menyadari kebutuhan untuk memobilisasi orang-orang muda di belakang kampanye. Pekan lalu, sekretaris pendidikan Nicky Morgan dalam pidatonya mengatakan, orang-orang muda yang akan paling menderita jika Inggris meninggalkan Uni Eropa. Pesannya ditujukan tidak hanya untuk memobilisasi orang-orang muda untuk memlih, tetapi juga fokus kepada orang tua dan kakek-nenek dari bahaya Brexit ke generasi berikutnya.

"Sudah jelas jika Ingris meninggalkan Eropa, itu akan membuat orang-orang muda yang paling menderita,” ujarnya.

Kepala eksekutif Electoral Reform Society Katie Ghose juga mengkhawatirkan hal tersebut. “Tidak hanya orang-orang muda merasa kurang tertarik, tetapi mereka seperti yang kita tahu, jauh lebih kecil kemungkinannya untuk memilih,” kata dia.

Ia mengatakan, referendum terakhir Inggris dilakukan pada 1975 . Ini berarti referendum Juni nanti mungkin menjadi referendum sekali seumur hidupnya selain menjadi sangat penting  bagi orang-orang muda. Para orang muda inilah yang akan paling terpengaruh oleh keputusan apakah Inggris Pergi dari UE atau Tetap di UE pada tahun-tahun mendatang.

 

Seorang juru bicara untuk Britain Stronger di Eropa mengaku telah bekerja sangat keras dengan mendirikan kelompok di lebih dari 50 universitas untuk memacu pemuda memilih. Tapi dia mengakui bahwa itu adalah sebuah tantangan. "Kaum muda paling dipertaruhkan dalam referendum ini. Masa depan mereka berada di kertas suara," ujarnya.

Opinium Research melakukan survey secara daring kepada 1.966 orang dewasa pada 29 Maret hingga 1 April.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement