Rabu 06 Apr 2016 15:23 WIB

Komisi Uni Eropa Siapkan Aturan Lebih Ketat di Perbatasan

Rep: Lida Puspaningtyas/ Red: Ani Nursalikah
Banyak pengungsi terpisah dari anggota keluarga mereka saat melakukan perjalanan ke Eropa.
Foto: on islam
Banyak pengungsi terpisah dari anggota keluarga mereka saat melakukan perjalanan ke Eropa.

REPUBLIKA.CO.ID, BRUSSELS -- Para eksekutif Uni Eropa akan mengajukan langkah-langkah teknis untuk memperkuat kendali perbatasan, Rabu (6/4). Hal ini dilakukan sejalan dengan pemulangan migran tak bersuaka ke Turki dalam upaya mengatasi gelombang migran yang tidak terkendali.

Pengendalian perbatasan dinilai penting untuk menghindari ancaman teror seperti yang terjadi di Paris dan Brussels. Lebih dari 160 orang tewas dalam serangan di Paris dan Brussels.

Dalam proposal berisi langkah-langkah teknis, Komisi Eropa mengatakan serangan itu membuat seluruh negeri harus fokus bekerjama sama untuk memperkuat managemen perbatasan, migrasi dan kerjasama keamanan. Kepala Europol Rob Wainwright mengatakan sejumlah militan telah memanfaatkan gelombang chaos migran untuk menyelinap.

Badan perbatasan Uni Eropa, Frontex juga mengatakan bahwa dua pelaku serangan Paris masuk ke Yunani dan terdaftar oleh otoritas dengan dokumen Suriah palsu. "Ada bukti bahwa teroris telah menggunakan rute migrasi untuk masuk Uni Eropa," kata Komisi dalam proposal.

Komisi mengatakan akan mengembangkan cara berkomunikasi antar negara, termasuk dalam pencarian bersama. Meskipun isi proposal umumnya bukan ide baru, namun penerapannya dinilai membutuhkan langkah kompleks karena akan menghadapi sejumlah tantangan teknis dan hukum.

Isi proposal ini terkait dalam keseimbangan kebutuhan data dan perlindungan privasi. Proposal yang pertama dibuat pada 2013 itu juga telah direvisi di bagian sistem keluar masuk warga negara di Uni Eropa.

Secara garis besar, sistem baru akan dilaksanakan pada 2020 untuk mendaftarkan data warga non-Uni Eropa yang tiba dari luar negara blok. Daftar termasuk data empat sidik jari dan foto wajah.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement