REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Ketika kapal dengan kerikil tiba di dermaga di Yangon, Aung Htet Myat mengisi keranjangnya dengan kerikil dan kemudian membawanya di punggungnya. Ia berjalan menuju truk yang akan membawa muatan tersebut ke lokasi konstruksi baru yang bermunculan di kota terbesar Myanmar.
Untuk setiap keranjang, broker tenaga kerja memberi imbalan dengan memberi potongan kayu atau stik. Para pekerja kemudian menaruhnya ke dalam botol plastik yang terikat pada sabuknya.
Pada akhir shift yang pada waktu sibuk bisa bertahan hingga 24 jam, Aung Htet Myat menukar stik kayu dengan uang. Dengan sebanyak 100 keranjang, remaja 14 tahun itu mendapat sekitar 2,5 dolar AS.
"Saya membawa keranjang dengan batu sepanjang hari," ujarnya yang telah bekerja di dermaga selama dua tahun terakhir.
Ia mengatakan, jika tidak ada perahu kerikil untuk bongkar muat, ia membantu pengemudi bus sebagai asisten.
Menurut angka dari laporan sensus di lapangan kerja yang diterbitkan bulan lalu, satu dari lima anak di Myanmar berusia 10 hingga 17 tahun pergi bekerja, bukannya bersekolah. Selain itu, sensus juga mengungkapkan, terbukanya ekonomi sejak 2011 telah memicu lonjakan permintaan terhadap tenaga kerja.