REPUBLIKA.CO.ID, MANILA -- Filipina menentang pembayaran tebusan untuk membebaskan tawanan kelompok keras Abu Sayyaf. Ini sebagai upaya menghentikan 'industri' penculikan yang berkembang setelah sejumlah penyanderaan awak kapal asal Indonesia dan Malaysia oleh pemberontak.
Juru bicara militer Filipina menanggapi laporan media pada Selasa (19/4), yang mengutip menteri Indonesia, yang mengatakan bahwa perusahaan Taiwan akan membayar untuk membebaskan 10 warga Indonesia. (Perusahaan Sepakati Beri 50 Juta Peso untuk Abu Sayyaf).
Sebanyak 18 awak asal Indonesia dan Malaysia ditawan dalam tiga serangan terpisah terhadap kapal tunda di perairan Filipina di dekat perbatasan laut dengan kedua negara tersebut. "Pasukan bersenjata terus mendorong setiap pihak memperhatikan kebijakan tanpa tebusan," kata juru bicara militer Filipina Brigjen Restituto Padilla kepada wartawan.
Ia mengatakan, militer ingin mencegah 'industri' penculikan yang tengah berkembang dan memutus aliran dana yang akan memperkuat pemberontak.
Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Indonesia, Luhut Pandjaitan seperti dikutip media mengatakan, sebuah perusahaan Taiwan menyiapkan pembayaran 50 juta peso (1,08 juta dolar) untuk membebaskan seorang kru yang ditawan sejak akhir Maret.
Filipina jarang mempublikasikan pembayaran tebusan dan para pejabat acapkali merujuk hal tersebut secara eufemistis sebagai 'dewan dan akomodasi'. Padilla mengatakan, operasi militer masih terus berlangsung untuk menyelamatkan para tawanan. "Keamanan korban penculikan adalah fokus utama kami," tambah dia.
Lima warga negara lain termasuk dua warga Kanada, juga ditawan di pulau terpencil wilayah selatan Jolo, basis kuat kelompok kecil dan kuat yang terkait Alqaidah. Kelompok ini dikenal atas aksi-aksi pemenggalan, pengeboman, dan pemerasan.
Duta Besar Kanada untuk Filipina Neil Reeder mengungkapkan kekhawatiran atas ancaman Abu Sayyaf untuk memenggal dua warganya pada 25 April jika keluarga dan pemerintah mereka tidak membayar tebusan 300 juta peso per orang.
"Kami sangat, sangat khawatir dengan situasi warga negara kami," kata Reeder kepada wartawan di Manila. "Kami melakukan yang terbaik demi keamanan dan keselamatan mereka, dan kami harap mereka aman, sehat dan segera dibebaskan."
Keamanan di wilayah selatan Filipina cukup genting, meskipun pada 2014 telah tercapai kesepakatan damai antara pemerintah dan kelompok pemberontak Muslim terbesar itu. Kesepakatan itu mengakhiri perang 45 tahun.