REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Pemerintah Amerika Serikat (AS) terpecah menjadi dua kubu akibat langkah militer terkini Rusia terkait perang saudara di Suriah. Kubu pertama yakin Presiden Rusia Vladimir Putin sungguh-sungguh mendukung prakarsa PBB mengakhiri perang di Suriah, yang sudah berlangsung lima tahun.
Adapun kubu berseberangan menyatakan bahwa Moskow hanya memanfaatkan perundingan PBB untuk memperkuat dukungan militer kepada Presiden Suriah Bashar al Assad. Kebijakan militer terkini Rusia itu adalah penempatan meriam di dekat medan tempur Aleppo.
Meski sudah menarik sejumlah pesawat tempur pada Maret, Rusia memperkuat pasukannya di Suriah dengan beberapa helikopter perang canggih untuk menyerang kelompok oposisi moderat, kata sejumlah sumber pemerintahan AS.
Menurut kubu meragukan niat Putin, penguatan kehadiran militer Rusia di Suriah harus ditanggapi tegas. Jika tidak, Moskow akan meremehkan kekuatan AS sehingga membuat negara tersebut semakin garang.
Selain itu, hubungan Washington dengan Arab Saudi dan negara Teluk yang pada umumnya anti terhadap Bashar akan semakin memburuk jika langkah Rusia tidak direspon dengan segera. Menurut mereka, AS harus meningkatkan dukungan kepada unsur gerilyawan moderat dengan bantuan berupa rudal anti-tank dan pelempar granat.
Namun, kubu lain dalam pemerintahan AS tidak sependapat. Penasihat Keamanan Nasional, Susan Rice, menolak eskalasi keterlibatan Washington di Suriah. "Rice adalah yang kukuh menolak," kata sumber yang mengetahui perpecahan dalam pemerintahan AS.
Presiden AS Barack Obama sendiri selama ini keberatan untuk meningkatkan keterlibatan negaranya dalam perang di Suriah. Pada Oktober lalu, Obama menyatakan Washington tidak akan terseret dalam "perang proxy" dengan Moskow.
Mengenai perpecahan dalam menanggapi langsung Putin tersebut, Gedung Putih menolak berkomentar. Selama ini, negara Barat kebingungan dalam membaca niat Putin sebenarnya sejak tokoh tersebut mengirim pesawat tempur untuk mendukung Bashar pada September.
Kebingungan Barat semakin bertambah setelah Putin tiba-tiba menarik sebagian pesawat tempurnya dari Suriah pada Maret. Pertanyaan utama yang tidak bisa dijawab oleh AS dan negara Barat lain adalah; kenapa Putin tidak mampu menekan Assad untuk berkompromi dalam perundingan perdamaian dengan oposisi.
Pertanyaan lebih lanjut, apakah Putin benar-benar berniat baik dalam mendorong keberhasilan perundingan di Jenewa yang diprakarsai PBB.