REPUBLIKA.CO.ID, PORT MORESBY -- Papua Nugini akan menutup pusat penahanan yang digunakan Australia untuk menahan para pencari suaka yang hendak ke sana, Rabu (27/4). Perdana Menteri Peter O'Neill mengumumkan pemerintahnya akan menutup pusat penahanan di Pulau Manus.
"Papua Nugini akan segera meminta pemerintah Australia membuat perjanjian alternatif bagi para pencari suaka," kata O'Neill, dikutip BBC.
Ia menambahkan pemerintah menawarkan pada mereka untuk jadi bagian dari masyarakat Papua Nugini. Namun menurutnya, mereka tidak ingin menetap di sana.
Sebelum pengumuman ini, Menteri Imigrasi Australia Peter Dutton mengatakan keputusan Papua Nugini tidak ada hubungannya dengan keputusan Australia. Ia bersikukuh pencari suaka tidak akan diizinkan menginjakkan kaki di Australia.
Pernyataan O'Neill menyusul keputusan Mahkamah Agung Papua Nugini yang mengatakan pusat penahanan tersebut ilegal pada Selasa. Menahan para pencari suaka di kamp semacam itu dinilai tidak konstitusional.
Australia mengirim para pencari suaka ke sana berdasarkan kebijakan proses lepas pantainya. Australia mengatakan tempat itu adalah tanggung jawab kedaulatan Papua Nugini.
Saat ini ada sekitar 850 orang ditahan di sana. Sebagian diantaranya dicap sebagai pengungsi. Kamp penahanan di Manus pertama kali dibuka pada 2001 oleh Perdana Menteri Australia John Howard.
Kamp secara resmi tutup pada 2008, namun dibuka kembali pada 2012 karena meningkatkan jumlah pencari suaka. Pada 2013, Australia sepakat memberikan dana 400 juta dolar Australia pada Papua Nugini untuk mengubahnya jadi kamp pengungsi.
Bentrokan meletus pada Februari 2-14 ketika penduduk lokal masuk fasilitas. Januari 2015 sejumlah orang yang ditahan di sana membentuk barikade dan melakukan aksi mogok makan. PBB dan kelompok HAM mengkritis kondisi di kamp yang tidak layak dan menuduh Australia tidak bertanggung jawab atas migran dan pengungsi.
Baca: Bank Qatar Selidiki Bocornya Data Satu Juta Pelanggan