REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Ratusan pengunjuk rasa, termasuk para biksu, mengecam Amerika Serikat karena penggunaan istilah Rohingya untuk melukiskan komunitas Muslim yang tak memiliki negara di Myanmar dalam protes di luar kedutaan besar AS di Yangon pada Kamis (28/4).
Orang-orang Rohingya, sebagian besar hidup dalam kondisi seperti apartheid, dipandang oleh banyak umat Budha Myanmar sebagai imigran ilegal dari Bangladesh dan istilah itu merupakan topik yang memecah belah.
Unjuk rasa itu dipicu oleh sebuah pernyataan Kedubes AS pekan lalu yang menyampaikan duka cita atas tenggelamnya sebanyak 21 orang di negara bagian Rakhine. Media mengatakan mereka yang tenggelam itu orang-orang Rohingya. Peristiwa tersebut terjadi sehari setelah Presiden Htin Kyaw menerima surat-surat kepercayaan dari Duta Besar AS Scott Marciel.
"Hari ini kami dari sini ingin menyatakan kepada Kedubes AS dan Dubes itu untuk Myanmar, kepada seluruh negara lain, tak ada Rohingya di negara kami. Kalau AS menerima istilah Rohingya itu, Anda (AS) hendaknya membawa mereka ke negara Anda," kata Parmaukkhan, seorang biksu dari anggota kelompok garis keras Budha, Ma Ba Tha, kepada sekitar 300 orang yang berkumpul di jalan yang ramai sepanjang kompleks kedubes itu.
Pemerintahan sebelumnya merujuk kelompok itu sebagai Bengalis, yang menyiratkan mereka adalah imigran ilegal dari Bangladesh, kendati banyak yang telah tinggal di Myanmar dari generasi ke generasi.
Aung San Suu Kyi, pemimpin partai Liga Nasional bagi Demokrasi (NLD) dan penasehat negara, mendapat kecaman dari kelompok-kelompok hak asasi manusia karena menghindari penggunaan istilah Rohingya dan tak berbuat cukup untuk mengatasi nasib mereka.
Ribuan orang Rohingya telah menyelamatkan diri dari perlakuan tak manusiawi dan kemiskinan di negara itu. Sebanyak 125 ribu orang Rohingya masih terlantar dan menghadapi pembatasan perjalanan ketat di kamp-kamp yang kondisnya menyedihkan sejak pertikaian pecah di Rakhina antara pengikut Budha dan Muslim pada 2012.
Zaw Htay, juru bicara kantor penasehat negara, mengatakan pada Kamis isu nama tersebut ditangani oleh Kementerian Luar Negeri dan akan diatasi dengan cara diplomatik tetapi ia tidak memberikan rincian lebih jauh. Seorang juru bicara Kedubes AS mengatakan AS mendukung hak untuk berunjuk rasa dan menambahkan di seluruh dunia, orang punya kemampuan untuk identitas diri.