Jumat 29 Apr 2016 14:25 WIB

Israel Tolak Pembicaraan Damai, Palestina Geram

Rep: Lida Puspaningtyas/ Red: Angga Indrawan
Aksi perlawanan rakyat Palestina terhadap penjajahan Israel. (ilustrasi)
Foto: EPA/Atef Safadi
Aksi perlawanan rakyat Palestina terhadap penjajahan Israel. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, TEPI BARAT -- Palestina mengecam penolakan Israel atas inisiatif pembicaraan damai dua pihak yang diinisiasi oleh Prancis, Jumat (29/4). Setelah pembicaraan damai kedua negara runtuk April 2014 lalu.

Juru bicara Presiden Palestina Mahmoud Abbas, Nabil Abu Rudeineh mengatakan Israel sedang menantang komunitas internasional dan keyakinannya pada solusi dua negara. "Penjajahannya adalah sumber kekacauan dan ketidakamanan," kata Nabil, dikutip Aljazirah.

Penolakan Israel berdasar pada inisiator pembicaraan yang dinilai sebagai pihak ketiga. Pada pernyataan yang dirilis Kamis, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu mengatakan Israel siap memulai pembiaraan dengan Palestina secepatnya, tanpa prekondisi.

Lebih lanjut, Israel percaya pada kondisi bahwa cara terbaik menyelesaikan konflik dengan Palestina adalah melakukan negosiasi bilateral langsung. "Inisiatif diplomatik lainnya menjauhkan Palestina dari negosiasi langsung," katanya. Netanyahu juga menilai konferensi perdamaian itu tidak ada manfaatnya. 

Prancis berencana menggelar konferensi menteri-menteri internasional dari 20 negara pada 30 Mei mendatang. Konferensi akan mendiskusikan cara meluncurkan kembali pembicaraan damai antara Israel dan Palestina. PBB, Uni Eropa, Rusia dan AS akan terlibat didalamnya. 

Mengumumkan konferensi Mei, Menteri Luar Negeri Prancis, Jean-Marc Ayrault menegaskan urgensi dari terbentuknya proses perdamaian baru. "Dua pihak telah menjauh dari sebelumnya, tidak ada solusi pada konflik selain pembentukan dua negara," kata dia.

Ayrault mengatakan solusi dua negara artinya hidup berdampingan dalam aman dan damai dengan berbagi ibukota Yerusalem. "Kita tidak bisa tidak melakukan apa-apa, kita harus segera bergerak sebelum semuanya terlambat," katanya dikutip Guardian.

Inisiatif konferensi ini berlatar belakang serentetan serangan yang telah menewaskan lebih dari 209 warga Palestina dan 33 warga Israel sejak Oktober 2015. Karena acara itu, Abbas memutuskan menunda rencana mengajukan resolusi pada Dewan Keamanan PBB untuk mengutuk Israel dan pembangunan permukimannya di Tepi Barat.

Setelah mendengar penolakan Israel, Palestina geram namun akan tetap mendukung terwujudnya konferensi perdamaian internasional. Kepala negosiator Sa'eb Erekat mengatakan seruan pemerintah Israel untuk negosiasi bilateral bukan seruan untuk pencapaian solusi dua negara.

"Melainkan upaya untuk melegitimasi perusahaan permukiman dan rezim Apartheid mereka," kata Erekat dikutip Aljazirah. Ia menambahkan, penolakan Israel atas inisiatif Prancis bahkan muncul setelah Palestina tahu bahwa militer akan terus menyerbu zona A di Tepi Barat.

Perjanjian Oslo yang ditandatangani dua pihak memuat keputusan untuk membagi wilayah Tepi Barat menjadi tiga zona. Zona A berada di bawah yuridiksi Palestina.

Kepala Palestina National Initiative, Mustafa Barghouti mengatakan keputusan Israel membuktikan bahwa strategi nasional alternatif yang berfokus pada perlawanan rakyat dan gerakan boikot adalah penting. Selain untuk mendamaikan pihak yang bertikai antara Hamas dan Fatah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement