REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengurus Besar Nahdlatul Ulama mengelar International Summit of the Moderate Islamic Leader (Isomil) di Jakarta, Senin (9/5) hingga 11 Mei 2016. Pertemuan itu digelar sebagai ikhtiar untuk mendamaikan konflik di Timur Tengah dan di sejumlah negara Asia. "Isomil ini sebagai sarana diplomasi bagi negara Islam yang sedang dilanda konflik," ujar Ketua Panitia ISOMIL Imam Aziz di Jakarta, Jumat.
Imam mengatakan, Indonesia sebagai bangsa Muslim terbesar di dunia serta posisinya yang netral dalam berbagai konflik internasional, sangat memungkinkan untuk menjadi penengah sekaligus juru damai.
Nahdlatul Ulama, kata Imam, juga punya pengalaman dalam resolusi sejumlah konflik di dalam dan luar negeri, termasuk di Afghanistan.
Menurut dia, kemelut di Timur Tengah bersumber dari radikalisme yang kemudian menyebar ke seluruh dunia. Radikalisme yang mengatasnamakan agama Islam, kata Imam, akan terus tumbuh dan menyebar di berbagai tempat sehingga membuat berbagai konflik sulit terselesaikan. "Di sinilah peran aktif Indonesia dalam menjalankan diplomasi internasional sangat diharapkan banyak pihak," katanya.
Oleh karena itu, NU menginisiasi pertemuan para pemimpin dunia Islam yang diharapkan bisa melahirkan resolusi dan kesepakatan antarnegara berpenduduk Muslim untuk bersama-sama mengakhiri konflik dengan mencegah penyebaran radikalisme.
"NU akan mendorong peran aktif para ulama dan tokoh masyarakat dari negara-negara peserta ISOMIL untuk mengembangkan pemahaman keagamaan Islam yang moderat dan menggalang konsolidasi global para ulama dan umat Islam untuk menginisiasi perdamaian," katanya.
Baca juga, JK Dorong NU Ekspor Paham Islam Nusantara.