Rabu 11 May 2016 19:11 WIB

Cina Tegaskan Tolak Pihak Asing

Rep: Lida Puspaningtyas/ Red: Winda Destiana Putri
Laut Cina Selatan
Foto: timegenie.com
Laut Cina Selatan

REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Cina menegaskan tidak boleh ada campur tangan asing dalam menyelesaikan sengketa di Laut Cina Selatan, Rabu (11/5). Juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Lu Kang mengatakan negaranya lebih memilih pendeketan dual track.

"Cina ingin dan sepakat dengan pendekatan dual track yang diinisiasi oleh negara-negara ASEAN dalam isu Laut Cina Selatan," kata Lu. Pernyataannya ini merespon pernyataan dari kandidat terdepan pemilihan umum presiden Filipina, Rodrigo Duderte.

Duderte sempat mengatakan ia akan memilih pembicaraan multilateral sebagai penyelesaian sengketa. Artinya pembicaraan melibatkan negara lain diluar negara sengketa, seperti Amerika Serikat, Jepang dan Australia.

Lu tidak sepakat dengan kemungkinan tersebut. "Sengketa harus diselesaikan dengan damai melalui negosiasi antara pihak-pihak yang terlibat langsung dengan dasar menghormati sejarah," kata Lu.

Menurutnya, hal ini juga lebih sesuai dengan hukum internasional daripada melibatkan pihak asing yang dinilai tidak berkepentingan. Lebih lanjut, Lu menilai, perdamaian dan kestabilan di Laut Cina Selatan harus diperbaiki bersama oleh Cina dan negara-negara ASEAN.

Cina juga mengimbau negara-negara di wilayah harus membuat peraturan untuk menetapkan penempatan. Selain itu, membangun mekanisme untuk mengendalikan sengketa dan mencapai hasil sama adil melalui eksploitasi dan kerjasama.

Klaim tumpang tindih di Laut Cina Selatan menjadi salah satu isu hangat dalam pemilu Filipina. Pada Senin, Duterte mengatakan Cina harus menghormati Zona Ekonomi Eksklusif Filipina, 200 mil dari pantai Filipina.

"Saya akan katakan pada Cina 'jangan mengklaim apa pun di sini dan saya tidak akan bersikeras ini milik kita'," kata Duterte saat menunggu pengumuman hasil perhitungan suara, dikutip Inquirer. Ia juga mengatakan Cina harus bergabung dengan Filipina jika ingin mengeksploitasi deposit gas dan minyak di jangkauan tersebut.

"Saya percaya dengan berbagi," kata dia. Pernyataannya ini lebih lunak dibanding sikap Filipina sebelumnya yang habis-habisan melawan Cina. Ketegangan meningkat antara kedua negara karena pengadilan internasional Den Haag sedang mempersiapkan putusan terkait kasus sengketa yang diajukan pemerintah Manila pada 2013.

Manila memprotes klaim Beijing atas 90 persen wilayah di Laut Cina Selatan. Cina menolak otorisasi pengadilan. Kini, Duterte berada diposisi kontra pemerintah sebelumnya. Dalam salah satu debat presiden, Duterte mengatakan bersedia memulai dialog dengan Beijing, tapi nanti.

"Saya akan berlayar pakai jet ski ke pulau Spratly yang dijajah Cina dan mengibarkan bendera Filipina di sana," kata dia. Namun terakhir, ia mengatakan perlu ada pembicaraan antara negara-negara terkait, Filipina, Vietnam, Malaysia, Brunei, Taiwan dan Cina dengan negara-negara adidaya.

"Mungkin tahun ini," kata dia. Kantor berita AP melaporkan, Beijing berharap Filipina akan bertemu Cina dulu dan mengambil langkah konkret untuk mengembalikan hubungan dalam jalur yang benar.

Lu mengatakan Cina berharap bisa bekerja sama lebih baik dengan pemerintah baru Filipina. Menurutnya, hubungan persahabatan tradisional dan bilateral dua negara ini telah mundur dalam beberapa tahun terakhir. "Sebabnya semua sudah tahu," kata Lu.

Keterlibatan sekutu kuat Filipina menjadi salah satu hal yang ditentang keras. Baru-baru ini, Amerika Serikat kembali melakukan patroli dengan kapal penghancur pemandu rudal, USS William P. Lawrence di dekat wilayah yang diklaim Cina, Fiery Cross Reef. Juru bicara Departemen Pertahanan AS, Bill Urban mengatakan tujuannya untuk menantang klaim maritim dan kebebasan navigasi.

Pada Selasa (10/5), Kementerian Luar Negeri Cina menyampaikan kemarahannya. Dalam pertemuan pers harian Cina, Lu mengatakan kapal perang angkatan laut AS secara ilegal memasuki perairan tanpa izin Cina. "Tindakan itu mengancam perdamaian dan stabilitas," katanya.

Pada hari yang sama, Cina menempatkan dua jet tempur dan tiga kapal tempur di sana. Sebagai respon, AS meningkatkan patroli angkatan laut dan latihannya di wilayah.

Kedua negara saling menuduh telah memiliterisasi Laut Cina Selatan. AS mengatakan reklamasi dan kontruksi skala besar di wilayah sengketa telah jadi bukti. Fasilitas-fasilitas di Fiery Cross Reef termasuk landasan udara sepanjang 3.000 meter yang bisa digunakan untuk meluncurkan jet tempur.

Kementerian Pertahanan Cina mengatakan dua jet dan tiga kapal perang mengikuti kapal AS dan memintanya untuk pergi.

"Patroli AS membuktikan bahwa konstruksi fasilitas pertahanan Cina di Pulau Nansha sangat diperlukan dan beralasan," katanya. Nansha adalah sebutan Cina pada Kepulauan Spratly.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement