REPUBLIKA.CO.ID, BRISBANE -- Sebanyak 25 pelaku industri fashion asal Indonesia sedang mengikuti program yang diberi nama #fashiondiplomacy. Selama dua pekan mereka berada di kota Brisbane dan Sydney untuk berbagi pengetahuan soal fashion dan aspek bisnisnya.
Para peserta adalah penerima beasiswa dari Australia Awards untuk mengikuti kursus singkat di bidang fashion dan tekstil yang digelar School of Fashion dari Queensland University of Technology (QUT). Tujuan dari program #fashiondiplomacy ini adalah untuk mengagas dan menjalin hubungan antara Indonesia dan Australia di bidang mode dan fashion .
"Indonesia memiliki kekayaan di bidang tekstil dan kerajinan tangan yang tidak terlalu banyak ditemukan di Australia," ujar Carla Van Lunn, dosen dari School of Fashion QUT. Carla menilai ada persamaan mendasar antara fashion di Indonesia dan Australia.
"Menurut saya, cuaca di Australia, terutama di negara bagian Queensland lebih hangat dibandingkan di Eropa. Juga kota-kota besar yang berada di garis pantai sehingga banyak menggunakan bahan katun dan bercorak, sama dengan cuaca tropis di Indonesia," ujarnya.
Dalam program ini juga para peserta melakukan pengamatan pada pangsa pasar di Australia sehingga desainer asal Indonesia bisa mempelajari seperti apa selera berbusana di Australia.
"Kebanyakan orang di Australia menyukai potongan yang sederhana, modern, dengan corak yang tidak terlalu ramai, juga lebih memperlihatkan lekuk atau bagian tubuh, lain dengan di Indonesia yang lebih tertutup dan santun," jelas Carla.
Salah satu peserta asal Indonesia yang mengikuti program ini adalah Norma Moi, perancang busana yang memfokuskan pada modest fashion atau busana santun, seperti yang banyak digunakan perempuan Muslim.