REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Sebuah survei baru menunjukkan Australia menjadi tempat yang marak kejahatan ekonomi. Akibatnya, satu bahkan lebih dari 10 perusahaan Australia mengalami kerugian mencapai sekitar Rp 10 miliar.
Laporan terbaru yang dikeluarkan PricewaterhouseCooper (PwC) dalam survei Kejahatan Ekonomi Global 2016 menemukan lebih banyak praktik pencucian uang dalam 20 tahun terakhir. Angkanya mencapai 26 persen, dibandingkan dengan hanya 11 persen di tingkat global dan sembilan persen di wilayah Asia Pasifik
Di Januari, Australia mendapat posisi yang kurang baik dalam Indeks Korupsi Internasional, dan posisinya terus menurun dalam empat tahun terakhir, dengan jatuh enam posisi ke peringkat ke-13. Jumlah organisasi di Australia yang mengalami cybercrime telah menjadi dua kali lipat dari jumlah rata-rata di tingkat global.
Sebanyak 65 persen organisasi di Australia mengalami kejahatan siber dalam 24 bulan terakhir, sementara rata-rata kejahatan siber di tingkat global mencapai 32 persen. PwC mengatakan ada kekhawatiran atas infrastruktur negara untuk memerangi suap dan korupsi di tingkat nasional.
"Jenis-jenis kejahatan ekonomi yang dialami tetap konsisten dengan tahun-tahun sebelumnya, tapi kita menghadapi lingkungan kejahatan ekonomi yang semakin kompleks didorong oleh ancaman siber," kata Malcolm Shackell, salah satu kepala kemitraan dan jasa di PwC.