Ahad 22 May 2016 11:00 WIB

Kerry Dorong Perubahan Lebih Jauh di Myanmar

Rep: Gita Amanda/ Red: Winda Destiana Putri
John Kerry
Foto: Reuters/Yuri Gripas
John Kerry

REPUBLIKA.CO.ID, NAYPYIDAW -- Menteri Luar Negeri Amerika Serikat John Kerry melakukan kunjungannya ke Myanmar pada Ahad (22/5).

Selama kunjungan pertamanya ia menyambut reformasi demokrasi di Myanmar dan menggarisbawahi kebutuhan untuk perubahan lebih jaud di Myanmar, termasuk terkait Hak Asasi Manusia.

Dalam kunjungan singkatnya sebelum bergabung dengan Barack Obama di Vietnam pada Senin (23/5), Kerry bertemu dengan Aung San Suu Kyi pada Ahad. Kerry juga dijadwalkan akan bertemu dengan Jenderal Senior Min Aung Hlaing dalam pertemuan terpisah.

"Kita sedang mencari cara baru untuk mendukung pemerintahan baru ini," kata seorang pejabat senior Departemen Luar Negeri yang ikut bepergian bersama Kerry.

Pekan lalu, pemerintah Obama telah melonggarkan sanksi ekonomi dan keuangan terhadap Myanmar. Mereka juga mencabut beberapa pembatasan perdagangan di Myanmar. Namun masih ada lebih dari 100 individu dan kelompok yang tetap berada dalam daftar hitam AS.

"Untuk saat ini kita harus menerima kenyataan bahwa ada beberapa individu dan kelompok di dalam negeri yang tidak sepenuhnya mendukung transisi untuk demokrasi ini," kata pejabat itu.

Ia menambahkan AS juga mendorong militer Myanmar untuk terus melanjutkan peran dalam konsolidasi yang dirancang untuk membangtu reformasi demokrasi. AS memang telah lama mendukung Suu Kyi dalam memperjuangkan perubahan demokratis di Myanmar.

Namun baru-baru ini Suu Kyi mengejutkan dengan meminta duta besar AS yang baru untuk Myanmar, Scott Marciel, untuk tak menggunakan istilah Rohingya untuk menyebut kelompok minoritas Muslim yang dianiaya di sana. Marciel mengatakan akan tetap menggunakan istilah itu, sesuai kebijakan Washington.

Berbicara mengenai minoritas Rohingya memang membawa masalah politik sendiri bagi Suu Kyi. Kelompok tersebut secara luas tak disukai di Myanmar termasuk oleh beberapa orang di partai Suu Kyi dan pendukungnya. Ia berisiko kehilangan dukungan jika menyelidiki pengepungan terhadap kelompok minoritas ini.

Padahal sekitar 125 ribu warga Rohingya masih mengungsi dan menghadapi pembatasan ketat berjalanan di kamp-kamp sejak pertempuran pecah di negara bagian Rakhine pada 2012 silam. Ribuan orang Rohingya telah melarikan diri akibat penganiayaan dan kemiskinan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement