REPUBLIKA.CO.ID, KUALA LUMPUR -- Selama beberapa dekade, Muslim Rohingya telah melarikan diri dari Myanmar yang merupakan negara mayoritas Buddha. Mereka lari, karena di Myanmar mereka hidup dalam kondisi apartheid. Ditolak aksesnya ke pekerjaan, pendidikan hingga kesehatan.
Abu Siddiq, salah satunya. Berbicara dengan Aljazirah, Siddiq yang kini tinggal di ibu kota Malaysia Kuala Lumpur mengatakan, ia terpaksa harus melarikan diri dari rumahnya. Semua dilakukannya setelah etnis Buddha di Myanmar meluncurkan kampanye brutal terhadap keluarga dan komunitasnya.
"Kami dipukuli, dilecehkan, dan rumah kami dibakar," kata Siddiq seperti dilansir Aljazirah, Senin (23/5).
Ia mengatakan, kala itu mereka bahkan harus menggali parit dan menempatkan rumput kering di dalamnya untuk tidur. Mereka tak punya makanan untuk dimakan dan kerap diburu.
"Dengan 6.000 orang yang hidup di wilayah itu, kami minum air dari saluran air, bahkan genangan. Tak ada makanan atau perawatan medis," kata Siddiq.
Keempat anaknya yang berusia dua, tiga, lima dan sepuluh tahun pun tewas setelah dibunuh secara brutal. Pada Ramadhan lalu, Siddiq mengisahkan, seorang perempuan Rohingya juga tewas setelah kerusuhan.
Khawatir akan keselamatan anggota keluarganya yang tersisa, Siddiq pun memutuskan bergabung dengan 120 orang lain meininggalkan neraka itu. Mereka berdesakkan dalam perahu menuju Malaysia.
Sebelum sampai Malaysia, Siddiq dan romobongan menyeberang ke perbatasan Bangladesh demi mendapat perlakuan lebih baik. Sayang, banyak yang ditolak oleh otoritas yang mengelak bertanggung jawab, dan mengklaim mereka tak memiliki sumber daya untuk merawat mereka.
"Setelah ditolak, kami segera menghabiskan makanan dan air kami, tiba di perairan Thailand sepekan kemudian. Kami lalu dihentikan oleh penyelundup manusia yang sedang menunggu di kapal cepat, mereka bersenjata. Kami kemudian dimasukkan ke kapal dan dipukuli. Kami dibawa ke darat dalam keadaan terkunci di kandang. Mereka ingin uang tebusan, jika tidak mereka akan mengambil wanita muda dan memperkosanya," kata Siddiq.