Rabu 01 Jun 2016 16:39 WIB

Kekerasan Terhadap Rohingya Mengarah ke Genosida

Rep: Gita Amanda/ Red: Ani Nursalikah
Muslim Rohingya menghabiskan waktu di kamp dekat Sittwe, Myanmar.
Foto: Reuters/Damir Sagolj
Muslim Rohingya menghabiskan waktu di kamp dekat Sittwe, Myanmar.

REPUBLIKA.CO.ID, RAKHINE -- Bentrokan mematikan pada 2012 antara Muslim Rohingya dan masyarakat Budha di negara bagian Rakhine, Myanmar telah berkembang menjadi serangan penargetan terhadap Muslim dan Rohingya di 13 dari 17 kota di Rakhine. Pelanggaran di negara bagian Rakhine bahkan digambarkan mengarah pada pembersihan etnis, kejahatan kemanusiaan dan genosida.

Pendiri dan Direktur Eksekutif Fortify Rights Matthew Smith mengatakan kepada Republika melalui surat elektronik, dalam laporan Allard K Lowenstein International Human Rights Clinic Yale Law School for Fortify Rights, menemukan sejumlah bukti yang menunjukkan unsur-unsur kejahatan genosida di Rakhine.

Dalam laporan tersebut memang tak menyimpulkan secara definitif mengenai genosida di Rakhine sebab untuk itu perlu penyelidikan independen dan penuh, namun Lowenstein memiliki akses kredibel dan komprehensif dan secara akurat mencerminkan situasi Rohingya.

Dugaan genosida itu menurut Smith, diperkuat dengan keterangan Penasehat Khusus untuk Sekretaris Jenderal PBB mengenai pencegahan genosida, Adama Dieng. Dieng mengatakan pelanggaran terhadap Rohingya di Myanmar dapat mengarah kepada genosida.

Baca: Tidak Ada Kewarganegaraan, Akar Perlakuan Diskriminatif Rohingya

"Jika tak dihentikan (diskriminasi terhadap Rohingya di Myanmar), ini bisa mengarah pada genosida," kata Dieng seperti dilansir Daily Sabah. Dieng mendesak konselor negara Myanmar Aung San Suu Kyi untuk menggunakan otoritas moralnya mencegah diskriminasi terhadap Rohingya.             

Smith menambahkan, negara-negara anggota ASEAN dapat mendukung pembentukan tim penyelidik independen untuk dugaan kasus genosida terhadap Rohingya ini. Investigasi tersebut nantinya menurut Smith akan membantu membangun fakta-fakta dan bisa memiliki efek pencegahan.

"Negara-negara anggota ASEAN, khususnya Indonesia, harus mendukung pembentukan penyelidikan independen PBB yang dapat mandat ke dalam situasi hak asasi manusia di Rakhine," kata Smith kepada Republika.

Smith mengatakan berdasarkan data Fortihy Rights ada sekitar 1,3 juta Muslim Rohingya di Myanmar. Namun angka tersebut menurutnya bukan angka pasti, mengingat Rohingya tak masuk dalam sensus nasional yang didukung PBB. Fortify Rights menurut Smith juga memperkirakan ada sekitar 140 ribu Rohingya yang hidup di kamp-kamp dalam negeri dan sekitar 200 ribu lebih warga Rohingya telah melarikan diri ke sejumlah negara sejak 2012.

"Mereka lari ke Bangladesh, negara-negara ASEAN termasuk Thailand, Malaysia dan Indonesia," ujarnya.

Smith mengatakan sangat berharap pemerintahan baru Myanmar dapat membawa perubahan positif. Meski sinyal terkait hal itu menurutnya sejauh ini masih sangat memprihatinkan. "Rohingya mengatakan, mereka telah kehilangan harapan," ujar Smith.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement