Ahad 05 Jun 2016 07:32 WIB

Museum Tiananmen di Hong Kong di Ambang Penutupan

Rep: C38/ Red: Nur Aini
Tragedi di Lapangan Tiananment, Cina, 1989, adalah sala satu demonstrasi terbesar dalam sejarah Cina.
Foto: AP
Tragedi di Lapangan Tiananment, Cina, 1989, adalah sala satu demonstrasi terbesar dalam sejarah Cina.

REPUBLIKA.CO.ID,BEIJING -- Siapa pun yang memasuki Memorial Museum 4 Juni di Hong Kong harus melewati lorong sempit. Semakin jauh berjalan, semakin sempit. Lorong-lorong itu merupakan manipulasi ruang yang sengaja dimaksudkan untuk mengenang penindasan terhadap para mahasiswa dan aktivis daratan Cina selama protes di lapangan Tiananmen pada musim panas 1989.

Dilansir dari Aljazirah, Ahad (5/6), museum ini merupakan satu-satunya monumen peringatan peristiwa pembantaian lapangan Tiananmen. Pengunjung dapat berjalan-jalan melalui visualisasi peristiwa pembantaian sebelum mencapai replika Dewi Demokrasi, sosok menyerupai Patung Liberty yang didirikan agitator pada hari-hari terakhir protes sebelum dihancurkan tentara.

Tindakan keras di Tiananmen Square muncul ketika para pengunjuk rasa sipil menuntut diakhirinya korupsi dan sikap otoriter pemerintah Cina. Negara kemudian mengirimkan tank-tank tentara menyusuri jalanan Beijing yang mengakibatkan lebih dari seribu kematian.

Pemberontakan adalah topik tabu di daratan Cina. Diskusi mengenai hal itu sering disensor. Istilah pencarian yang berkaitan dengan pemberontakan itu sempat diblokir dari platform media sosial seperti Sina Weibo. Tidak ada yang menyebutkan insiden itu dalam buku teks Cina. Alhasil, tak banyak generasi muda Cina yang melek peristiwa itu.

Pada April 2014, dalam peringatan 25 tahun pemberontakan lapangan Tiananmen, Hong Kong Alliance in Support of Patriotic Democratic Movements of China membangun tempat permanen untuk memperingati peristiwa itu. Aliansi ini membeli ruang di Foo Hoo Centre, distrik perbelanjaan ramai Tsim Sha Tsui. Tapi, masalah mulai muncul.

Pemilik bangunan mempermasalahkan penggunaan akta lahan yang dikeluarkan untuk aliansi. Ia melarang penggunaan kompleks komersial untuk pameran dan mengajukan gugatan untuk menghapus museum. Seorang profesor di University of Michigan, Louisa Lim, mencatat, kampanye melawan museum bahkan telah dilakukan sebelum museum itu dibuka.

Anggota aliansi berpendapat gugatan itu tak ada hubungannya dengan peraturan properti. Pihak pemilik bangunan dinilai takut jika keberadaan museum akan membawa masalah pada mereka. Dari April 2014-Januari 2016, museum menerima sekitar 20 ribu pengunjung. Pada tahun pertama, hampir setengah pengunjung berasal dari Cina daratan. Tapi tahun kedua, jumlah pengunjung turun sampai 30 persen.

"Petugas keamanan gedung menerapkan kebijakan pemeriksaan identitas dan meminta pengunjung menyatakan tujuan kunjungan. Ini menghambat dan membuat takut pengunjung," kata Ketua Aliansi Museum, Albert Ho. Untuk mencegah keramaian, petugas keamanan bahkan membatasi jumlah pengunjung hanya 20 orang pada satu waktu. Rombongan besar harus dipecah menjadi rombongan-rombongan kecil untuk masuk.

Aliansi ini sedang menjalankan kampanye crowdfunding dengan tujuan mengumpulkan sekitar 400 ribu dolar AS untuk memindahkan museum mereka, namun kampanye ini jalan di tempat. Mereka berharap monumen itu dapat pindah ke lahan milik sendiri. "Kami bertekad untuk memastikan selalu ada Museum 4 Juni di Hong Kong," kata Ho.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement