REPUBLIKA.CO.ID, PORT MORESBY -- Perdana Menteri Papua Nugini, Peter O'Neill menolak keprihatinan Australia atas kerusuhan di negaranya Rabu (8/6). Saat itu polisi menembaki kerumunan mahasiswa yang melakukan aksi unjuk rasa di Port Moresby.
Mahasiswa Universitas Papua Nugini (UPNG) tengah berjalan kaki menuju gedung parlemen nasional untuk melanjutkan aksi unjuk rasa panjang mereka memprotes Perdana Menteri Peter O’Neil ketika kerusuhan terjadi. Sedikitnya 17 orang dilaporkan terluka dalam konfrontasi itu, termasuk satu orang yang terkena tembakan di bagian kepala.
Berkaitan dengan kekerasan ini, PM O'Neill menyampaikan simpatinya kepada para korban dan mengatakan insiden ini seharusnya bisa ditangani dengan lebih baik. Perdana Menteri Malcolm Turnbull mengatakan dirinya telah berbicara pada mitranya di Papua Nugini menyusul insiden penembakan ini dan menawarkan dukungan.
Namun Menteri Luar Negeri Australia Julie Bishop mengatakan tawaran itu tidak diterima. Ketika ditanya mengenai percakapannya dengan PM Turnbull, O'Neill menyatakan bantuan Australia tidak diinginkan.
"Tentu saja Malcolm bisa menelepon kapan saja dia mau, tapi sebagaimana saya indikasikan kepadanya, ini merupakan masalah internal Papua Nugini,” katanya.
Dalam pernyataannya Rabu (8/6), O'Neill mengutuk agitator karena telah menghasut konfrontasi kekerasan ini.
"Fakta-fakta yang disampaikan kepada saya menunjukkan sekelompok kecil mahasiswa melakukan kekerasan, melemparkan batu pada polisi dan memicu respons yang datang dalam bentuk tembakan gas air mata dan tembakan peringatan," kata pernyataan itu.
Penasihat pemerintah mengatakan tidak jelas apakah polisi telah melepaskan tembakan peringatan atau langsung melakukan penembakan ke arah kerumunan.
Pemerintah PNG, polisi dan Ombudsman telah menyatakan akan melakukan penyelidikan terpisah atas insiden penembakan ini.