REPUBLIKA.CO.ID, LOS ANGELES -- Ketika Chang Ho-kim tinggal di Korea Utara, ia menerima informasi dari Cina tentang dunia luar dari negara isolasi yang ia tempati. Melalui lensa film bajakan, Amerika bagi Kim tampak seperti tempat yang sangat kaya dan mewah.
Pada 1997, pada puncak kelaparan yang menewaskan sekitar satu juta orang, Kim dan istrinya melarikan diri ke Cina, Mongolia, lalu ke Korea Selatan. Pembelot dari Korut secara otomatis menjadi warga Korsel setelah transisi wajib selama tiga bulan. Transisisi ini merupakan bagian pembekalan dengan pendidikan ulang.
Sebagian pembelot Korut di Selatan cukup menonjol, tidak terkecuali dengan Kim. Mereka memiliki aksen yang berbeda dengan tubuh yang kebanyakan lebih pendek dan kurus. Pembelot Korut juga memiliki warna kulit lebih gelap, kulit pucat akibat malnutrisi. Sulit untuk menghindari prasangka dan kecurigaan orang Korsel bahwa Korut adalah mata-mata.
Mengingat gambar Hollywood AS, Kim dan istrinya memutuskan pergi ke AS secara ilegal melalui broker. Tapi, bagi Kim dan yang lainnya seperti mereka, kehidupan di AS belum tentu lebih mudah. Kim dan istrinya tiba dengan sedikit atau tanpa pengalaman tentang tagihan, sewa dan tidak ada cara untuk mengatasi kurangnya pelayanan sosial dan asuransi kesehatan.
"Kehidupan Amerika begitu sulit. Uang, uang, uang," ujar Pastor muda Gu Kim, seorang imigran Korsel yang membantu pembelot dilansir dari The Guardian. "Beberapa pembelot mengatakan kepada saya, 'Oh pendeta, kadang-kadang saya rindu di sana (rumah)'," katanya.
Seperti Chang Ho-kim, banyak warga Korut masuk secara ilegal dan menetap di Los Angeles, di tengah populasi besar etnis Korea. Hampir 200 mantan Korut tinggal di kota itu tapi angka pastinya tidak diketahui.
Lindsay Lloyd yang saat ini memimpin proyek pembebasan Korut dari Institut George W Bush mengatakan, Korsel memiliki program besar untuk memukimkan kembali orang Korut. "Pada dasarnya program ini selama setahun, tapi kemudian terjadi di luar dalam banyak hal di mana ada hibah untuk pendidikan, perumahan dan segala macam hal," ujarnya.
Di Korsel, pengungsi menerima beberapa ribu dolar untuk memulai kehidupan baru mereka. Mereka juga belajar banyak keterampilan seperti berbelanja atau menggunakan mesin Anjungan Tunai Mandiri (ATM).
"Ketika pengungsi datang ke Amerika Serikat, pemerintah AS hanya menyediakan sekitar enam bulan bantuan bagi mereka," tambah Lloyd.