REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Menurut laporan Komisi Produktivitas Australia, serbuan teknologi digital memiliki potensi mengancam 40 persen pekerjaan selama 10-15 tahun ke depan di saat otomatisasi dan mesin canggih menggoyang ekonomi.
Dalam penelitian berjudul Digital Disruption: What Do Governments Need to Do (Serbuan Digital: Apa yang Perlu Dilakukan Pemerintah), Komisi ini memeringatkan pemerintah dan regulator (pembuat peraturan) perlu mempersiapkan perubahan zaman di saat tantangan berkembang di luar Uber dan Air BnB.
Ketua Komisi Produktivitas Australia Peter Harris mengatakan teknologi mesin kecerdasan dan otomatisasi yang agresif secara bertahap akan mengubah ekonomi. "Ada sedikit keraguan di beberapa sektor akan ada dislokasi tenaga kerja dan dislokasi modal. Ini bukan hanya kerugian bagi karyawan, ini akan menjadi kerugian untuk bisnis tertentu juga. Hal-hal seperti pencetakan 3D akan berdampak. Sekarang ini, hal itu lebih merupakan produk baru tapi seiring waktu, anda akan melihat ini diterapkan untuk manufaktur," ujar Harris.
Meski demikian, Peter mengatakan terlepas dari dunia baru teknologi yang sangat terkoneksi dan data besar, beberapa ketakutan awal atas manusia yang akan digantikan oleh mesin itu dilebih-lebihkan. "Mayoritas pekerjaan di perekonomian kita saat ini adalah jenis pekerjaan jasa dan memerlukan beberapa bentuk tatap muka antarmanusia. Jadi dengan mengatakan kita telah terotomatisasi atau bisa mengotomatisasi sesuatu, tak berarti hal itu akan mudah diterima konsumen," ujarnya.
Peter menambahkan, "Anda tak bisa selalu membayangkan dokter akan digantikan oleh robot yang kepadanya anda akan berbicara dan mendapat analisa."
Sementara teknologi pintar pasti akan menggantikan manusia, khususnya di bidang manufaktur, Komisi Produktivitas mengatakan jaring pengaman sosial Australia, termasuk Medicare bisa jadi kritis. "Kami memiliki jaring pengaman sosial yang penting dan mempertahankan itu akan menjadi penting bagi keperluan orang-orang yang kehidupannya terganggu sebagai konsekuensi dari ini," kata Peter.
Era serbuan digital juga akan menjadi tantangan bagi pemerintah dan regulator (pembuat peraturan), namun laporan tersebut merekomendasikan perusahaan dan bisnis baru tak seharusnya diberi pendekatan penanganan yang berat. Peter Harris memeringatkan bahaya model regulasi yang menggunakan black letter law atau hukum yang didasarkan pada kondisi di saat undang-undang itu dibuat.
"Memberi regulator kekuatan untuk menawarkan periode cuti sementara dari dampak regulasi, agar memungkinkan sebuah ide terungkap di saat memastikan konsumen dilindungi inisiatif dan pemikiran fleksibel semacam itu sangat penting bagi pemerintah jika mereka hendak membolehkan ide-ide kreatif terungkap dan memberikan manfaat bukan hanya untuk konsumen tetapi untuk karyawan dan investor di masa depan," ujarnya.
Namun Peter mengambil pandangan sinis tentang bagaimana serbuan teknologi itu akan mengubah hidup, berkaca pada serial kartun di era 1960-an, The Jetsons. "Belum, belum cukup seperti Jetsons meskipun kita memiliki telepon video. George berkomunikasi dengan Jane, kini mungkin dilakukan. Tapi jet roket, saya takut jika saya masih harus menunggu punya saya untuk dikirim," ujarnya.