REPUBLIKA.CO.ID, NAYPYITAW -- Myanmar akan mulai menghapus kata Rohingya. Pemimpin berpengaruh Myanmar Aung San Suu Kyi mengatakan akan menghindari kata Rohingya untuk menyebut minoritas Muslim yang teraniaya tersebut.
Ia telah menyampaikannya kepada Utusan Khusus HAM PBB pada Senin (20/6). Pada hari yang sama, otoritas HAM PBB mengeluarkan laporan soal Rohingya yang telah dirampas kewarganegaraannya.
PBB melaporkan, kelompok Rohingya mengalami diskriminasi yang sistematis dan di bawah larangan pergerakan yang parah. Mereka juga menderita karena mengalami penyiksaan hingga eksekusi. "Hal ini kemungkinan besar adalah kejahatan melawan kemanusiaan," kata laporan.
Sebanyak 1,1 juta orang itu menyebut diri mereka Rohingya. Penduduk Buddha Myanmar menyebut mereka sebagai imigran ilegal dari Bangladesh.
Penyidik HAM PBB, Yanghee Lee, telah bertemu Suu Kyi di Ibu Kota Naypyitaw. Ini pertama kalinya Lee berkunjung ke Myanmar sejak Suu Kyi memenangi kekuasaan pada April. Permanent Secretary di Kemenlu Myanmar Aung Lin mengatakan, Menlu Suu Kyi menjelaskan posisi pemerintah dalam isu Rohingya.
"Pada pertemuan mereka pagi ini, Menlu menyatakan sebutan Rohingya itu harus dihindari," kata Lin.
Suu Kyi telah lama dikritik karena tidak melakukan apa-apa untuk menghentikan ketidakadilan terhadap Rohingya. Padahal, peraih Nobel Perdamaian ini adalah pemimpin tertinggi secara de facto. Meski ia dilarang maju sebagai presiden, kini ia menjabat sebagai kanselir negara dan menteri luar negeri.
Menurut laporan, Suu Kyi telah membentuk komite untuk membawa perdamaian dan perkembangan di negara bagian tempat Rohingya berada. Namun, rencana itu belum jelas hingga saat ini sejak dicetuskan Mei.