Selasa 21 Jun 2016 15:11 WIB

PBB: Perlakuan Terhadap Rohingya adalah Kejahatan Kemanusiaan

Rep: Lida Puspaningtyas/ Red: Ani Nursalikah
Pengungsi Rohingya menangis usai salat Idul Fitri di penampungan sementara Desa Blang Ado, Kecamatan Kuta Makmur, Aceh Utara.  (Antara/Rahmad)
Pengungsi Rohingya menangis usai salat Idul Fitri di penampungan sementara Desa Blang Ado, Kecamatan Kuta Makmur, Aceh Utara. (Antara/Rahmad)

REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Otoritas HAM PBB mengeluarkan laporan terbaru terkait komunitas Rohingya, Senin (20/6). Laporan menyebut perlakuan terhadap mereka bisa disebut kejahatan kemanusiaan.

PBB mengatakan mereka telah dirampas kewarganegaraannya. Rohingya juga mengalami diskriminasi yang sistematis dan mengalami larangan pergerakan yang parah. Selain itu, mereka menderita karena mengalami penyiksaan hingga eksekusi.

"Hal ini kemungkinan besar adalah kejahatan melawan kemanusiaan," kata laporan.

Sebanyak 1,1 juta orang menamakan diri Rohingya. Penduduk Budha Myanmar menyebut mereka sebagai imigran ilegal dari Bangladesh.

Komisioner Tinggi PBB untuk HAM Zeid Ra'ad Al-Hussein mengatakan dalam laporan, Rohingya dikesampingkan dari berbagai profesi. Mereka butuh dokumen khusus agar bisa mengakses rumah sakit. Jika tidak, mereka tidak akan dilayani.

Baca: Myanmar akan Hapus Istilah Rohingya

Hal ini berimbas pada penundaan penanganan bayi baru lahir dan ibu melahirkan hingga menyebabkan kematian. Zeid mengatakan ini adalah pertama kalinya pelanggaran berkepanjangan bisa jadi kejahatan kemanusiaan, sebuah kejahatan internasional.

Kejahatan kemanusiaan adalah pelanggaran sistematis, menyebar dan serius. Sekitar 120 ribu Rohingya masih jadi pengungsi di kamp tak layak sejak pertempuran meletus di Rakhine antara Muslim dan Budha pada 2012.

Pemerintah baru telah menerima warisan situasi ini, dimana kebijakan dan hukum yang ada didesain untuk menolak hak fundamental minoritas. "Imunitas hukum atas pelanggaran serius ini akan melecut pelanggaran lainnya yang melawan mereka," kata Zeid.

Ia menilai menghapus diskriminasi berdasarkan hukum harus menjadi prioritas pemerintah baru agar pelanggaran selanjutnya bisa dicegah.

Penyidik HAM PBB, Yanghee Lee telah bertemu Suu Kyi di ibu kota Naypyitaw pada Senin. Ini pertama kalinya Lee berkunjung ke Myanmar sejak Suu Kyi memenangkan kekuasaan pada April.

Permanent Secretary di Kemenlu Myanmar, Aung Lin mengatakan Menlu Suu Kyi menjelaskan posisi pemerintah dalam isu Rohingya.

Suu Kyi menyarankan setiap orang kini menggunakan kata komunitas Muslim di Rakhine State dibanding Rohingya. "Demi harmoni dan kepercayaan antara dua komunitas, akan lebih disarankan setiap orang menggunakan kata 'komunitas Muslim di Rakhine State'," kata Suu Kyi pada PBB.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement