Selasa 21 Jun 2016 18:26 WIB

Pengamat: Indonesia Harus Tegas dengan Cina

Rep: Reza Irfa Widodo/ Red: Teguh Firmansyah
Panglima Komando Armada RI Kawasan Barat Laksamana muda TNI A.Taufiq R menjelaskan kronologi penangkapan kapal ikan berbendera Cina di Laut Natuna pada saat memberikan keterangan pers di Mako Mabar, Jakarta, Selasa (21/6
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Panglima Komando Armada RI Kawasan Barat Laksamana muda TNI A.Taufiq R menjelaskan kronologi penangkapan kapal ikan berbendera Cina di Laut Natuna pada saat memberikan keterangan pers di Mako Mabar, Jakarta, Selasa (21/6

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Insiden yang melibatkan aparat keamanan Indonesia dengan nelayan kapal asing asal Cina kembali terjadi di sekitar perairan Natuna, Kepulauan Riau, akhir pekan lalu. Hal ini pun terkait dengan adanya klaim Cina mengenai Laut Natuna sebagai bagian dari Traditional Fishing Ground nelayan-nelayan Cina.

Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, menilai, masuknya 12 kapal nelayan asal Cina di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) dilakukan bukannya secara tidak sengaja. Bagi para nelayan asal Cina itu, sebagian wilayah ZEEI itu dianggap sebagai wilayah tradisional untuk menangkap ikan.

''Pemerintah Cina pun mendukung tindakan para nelayannya dengan mengistilahkan daerah yang dimasuki sebagai Traditional Fishing Ground,'' ujar Hikmahanto di Jakarta, Selasa (21/2).

Inilah yang menjadi dasar protes yang dilakukan pemerintah Cina terhadap Indonesia saat tiga kali insiden antara aparat keamanan Indonesia dengan nelayan asal Cina. Konsep Traditional Fishing Ground inilah juga yang menjadi dasar untuk pemerintah Cina dalam melakukan klaim atas sembilan garis putus atau Nine Dash Line di Laut Cina Selatan, yang juga mencakup dan bersinggungan dengan ZEEI di Perairan Natuna.

Baca juga, Menlu Minta Cina Hormati Kedaulatan Indonesia.

Tidak hanya itu, Hikmahanto menuturkan, dalam kunjungan Presiden Joko Widodo ke Jepang pada Maret tahun lalu, klaim Cina atas sembilan garis putus tidak memiliki basis dalam hukum internasional. Untuk itu, Hikmahanto berharap, Indonesia tetap pada sikap tersebut dan tidak mengakui klaim Cina tersebut.

Termasuk dengan sikap Indonesia terkait putusan Arbitrase Internasional antara Filipina dengan Cina, yang bersengketa atas sejumlah wilayah di Laut Cina Selatan. ''Oleh karenanya dalam kebijakan luar negeri Indonesia harus dinyatakan secara tegas tidak diakuinya klaim Cinta atas Sembilan Garis Putus itu,'' kata Hikmahanto.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement