REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Orang kuat Saudi, Wakil Putra Mahkota Mohammed bin Salman, menemui Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Ban Ki-moon pada Rabu (22/6) terkait penempatan singkat persekutuan negara pimpinan Saudi dalam daftar hitam atas dugaan pembunuhan anak-anak di Yaman.
Namun, Salman menyatakan tidak marah atas penempatan itu mengingat PBB telah menghapus sekutu pimpinan Saudi dalam daftar hitam tersebut. Mohammed bin Salman berada di New York pada pekan ini untuk bertemu dengan pemimpin perusahaan, sesudah mengunjungi Washington dan Pantai Barat, Amerika Serikat.
Arab Saudi pada awal bulan ini mengancam menghentikan pendanaan bantuan untuk Palestina beserta tugas kemanusiaan lain jika PBB tidak menghapus sekutu pimpinan Saudi dari tuduhan pembunuhan dan serangan terhadap anak-anak perang Yaman itu.
Ban akhirnya menghapus persekutuan itu dari daftar hitam dengan menunda tinjauan perkara tersebut, yang diulas PBB tersebut. Ia juga secara terbuka mengkritisi tekanan yang diberikan Arab Saudi.
Dalam perjalanannya menuju lokasi pertemuan, Salman ditanya atas sikapnya terkait daftar hitam yang diberikan Ban. "Saya tidak marah," kata Salman.
Salman yang juga berperan sebagai menteri pertahanan Arab Saudi tidak menjawab pertanyaan apa pun usai pertemuan.
Akan tetapi, satu sumber diplomatik menyatakan pertemuan itu berjalan baik, walau pihak terkait tidak mengungkap dengan jelas hasil pembicaraan tersebut.
Salman membuat Ban menunggu selama 45 menit, hingga akhirnya tiba dengan penasihat dan penjaga keamanannya. Deputi putra mahkota Arab Saudi itu juga dijadwalkan bertemu dengan Leila Zerrougui, perwakilan khusus PBB untuk anak-anak dalam perang yang memutuskan menempatkan sekutu pimpinan Saudi dalam daftar hitam.
Zerrougui dikabarkan menentang keras keputusan Ban menghapus koalisi negara itu dari daftar hitam, meskipun Arab mengancam akan memberi fatwa PBB sebagai anti-Muslim, kata sumber diplomatik lembaga itu. Fatwa adalah pendapat berkekuatan hukum dalam syariah atau hukum Islam.
Di Arab Saudi, fatwa hanya dapat dibuat oleh kelompok elit, ulama yang ditunjuk pemerintah, atau para pemuka agama yang ada di bawah kendali keluarga penguasa guna mendukung posisi politik mereka. Meski demikian, pihak Saudi menolak telah menekan Ban seraya mengungkap laporan PBB itu kurang akurat.
Laporan PBB terkait anak-anak dan konflik bersenjata menyatakan, koalisi negara yang mulai berkampanye menentang kelompok pemberontak aliansi Iran, Houthi pada 2015, bertanggung jawab atas tewasnya 510 anak dan 667 anak yang terluka, atau 60 persen dari total jumlah luka dan kematian akibat konflik pada tahun lalu.
Penghapusan sekutu dari daftar hitam itu memancing kecaman keras kelompok pembela hak asasi manusia, yang mengatakan Ban mempertaruhkan nama baiknya sebagai Sekjen PBB pada tahun terakhir kepemimpinannya.