Selasa 28 Jun 2016 16:29 WIB

Thailand Intimidasi Kelompok HAM Pembela Rohingya

Rep: Gita Amanda/ Red: Ani Nursalikah
Muslim Rohingya melarikan diri dari kekerasan di Myanmar.
Foto: AP/Anurup Titu
Muslim Rohingya melarikan diri dari kekerasan di Myanmar.

REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- Kelompok Hak Asasi Manusia Fortify Rights menyayangkan sikap pemerintah Thailand yang dianggap mengintimidasi dan berlaku sewenang-wenang pada kelompok HAM yang membela Rohingya, selama kunjungan Konselor Negara Myanmar Aung San Suu Kyi.

Fortify Right berharap Thailand semestinya melindungi hak-hak pembela etnis Rohingya termasuk hak atas kebebasan dan kebebasan berekspresi.

Menurut siaran pers yang diterima Republika.co.id, Selasa (28/6), Fortify Rights mengatakan pemerintah Thailand melakukan aksi sewenang-wenang dan memantau pergerakan beberapa tokoh masyarakat Rohingya dari Myanmar yang secara sah berada di Thailand. Pemantauan dan sikap intimidasi tersebut menurut Fortyfy Rights dilakukan selama kunjungan Suu Kyi ke Thailand pada 23 hingga 25 Juni lalu.

Pemerintah Thailand juga mencegah sesi tanya-jawab terkait Rohingya saat konferensi pers di Bangkok pada 23 Juni. Polisi dan pejabat militer Thailand mengatakan permintaan pembatasan diskusi dalam konferensi pers itu dilakukan sebagai respons atas kebijakan Myanmar terhadap Rohingya serta memastikan hubungan kerja sama Myanmar-Thailand tetap terjaga.

"Kepentingan strategis Thailand sebaiknya disajikan untuk melindungi hak-hak pembela HAM Rohingya, bukannya menindak mereka. Hubungan bilateral tak harus didasarkan pada kebijakan kekerasan yang konsisten," kata Direktur Eksekutif Fortify Rights Amy Smith.

Pemerintah Thailand juga dilaporkan menahan, mengintimidasi dan memantau pergerakan beberapa pemimpin masyarakat Rohingya yang terlibat dalam acara tersebut. Pada 23 Juni pagi, intelijen militer Thailand disebut-sebut menahan pemimpin komunitas Rohingya Haji Ismail yang dijadwalkan berbicara untuk konferensi pers yang berfokus pada Rohingya.

Pada 21 Juni lalu, Suu Kyi memberitahu Pelapor Khusus PBB Yanghee Lee untuk menghindari penggunaan istilah Rohingya. Kementerian Informasi Myanmar juga menyatakan para pejabat pemerintah dilarang menggunakan istilah itu. Bahkan Duta Besar Uni Eropa untuk Myanmar Ronald Kobia mengumumkan pada 22 Juni, Uni Eropa tak akan menggunakan istilah itu.

Deklarasi tersebut terjadi sehari setelah Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia Zeid Ra'ad al-Hussein menyerahkan laporan kepada Dewan Keamanan PBB. Laporan menyoroti kemungkinan kejahatan kemanusiaan terhadap Rohingya di Myanmar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement