REPUBLIKA.CO.ID, BRUSSELS -- Menteri Pertama Skotlandia Nicola Sturgeon membuat keputusan berbeda dengan hasil referendum Inggris, British Exit (Brexit). Pada Rabu (28/6), ia pergi ke Brussels untuk memberitahu Uni Eropa Skotlandia akan tetap berada di dalam blok.
Keputusannya itu diutarakan beberapa jam setelah Perdana Menteri Inggris David Cameron menggelar konferensi yang menegaskan Inggris keluar. Sturgeon bertemu dengan Presiden Parlemen Eropa Martin Schulz.
"Ini hanya pertemuan awal dari serangkaian pertemuan di Brussels hari ini, agar orang lain mengerti Skotladia tidak seperti bagian Inggris lainnya yang ingin meninggalkan Uni Eropa," kata Sturgeon.
Baca: Pemimpin Eropa Gelar Pertemuan tanpa Cameron
Ia menyadari akan ada tantangan ke depannya. Namun ia tetap pada keputusan. Schulz mengatakan ia mendengar dan mempelajari keputusan Skotlandia.
Di hari yang sama, Sturgeon bertemu dengan kepala eksekutif Uni Eropa, Jean-Claude Juncker. Pemimpin pro-kemerdekaan ini mungkin akan memulai opsi pecahnya Skotlandia dari Inggris jika Brexit tercapai.
Pada Rabu, pemimpin Uni Eropa menggelar pertemuan tanpa Cameron. Namun Juncker menggelar karpet merah bagi Skotlandia. Hal ini dilihat sebagai upaya untuk menekan London.
Kepala konferensi, Presiden Dewan Eropa Donald Tusk menolak bertemu dengan Cameron hingga ia meninggalkan konferensi.
Sturgeon belum berencana untuk bertemu dengan para pemimpin Eropa lainnya.
Simpati berdatangan untuk Skotlandia karena dua pertiga dari pemilih referendum di sana mengatakan ingin tetap di Uni Eropa. Sejumlah pejabat UE menekankan Skotlandia tidak bisa berjalan sendiri kecuali menjadi negara berdaulat.
Pada 2014, Skotlandia memilih tidak untuk kemerdekaan. Pejabat senior juga menilai Skotlandia tidak bisa mengisi kursi Inggris yang kosong di meja Dewan Eropa. Sejumlah negara mungkin akan menghalangi pilihan ini.
Seorang pejabat senior UE menyayangkan penerimaan Juncker terhadap Sturgeon. Meski sejumlah diplomat menilai langkah Juncker ini untuk menambah tekanan pada Cameron dan penggantinya agar mempercepat proses keluarnya Inggris dari Uni Eropa.