REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO -- Mohamed Fujita biasanya kerap menggelar pengajian di rumahnya yang terbuka bagi semua umat Islam. Tapi kali ini, Fujita takut menggelar pengajian. Ia khawatir salah satu peserta yang hadir merupakan informan polisi.
Sebab di Jepang terungkap, Muslim di Negeri Sakura tersebut telah lama berada dalam pengawasan intelijen negara. Pengawasan diklaim sebagai salah satu bentuk upaya pencegahan terhadap terorisme.
"Pengawasan yang luas telah membuat keimanan seseorang di ujung tanduk, menabur ketidakpercayaan," kata Fujita yang namanya disamarkan untuk melindungi diri.
Berasal dari Jepang dan telah memeluk Islam lebih dari dua dekade lalu, Fujita merupakan satu dari 17 orang yang menggugat upaya pemerintah melakukan pemantauan untuk menyibak para pengikut Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Istri Fujita mengatakan, ia menyadari telah di bawah pengawasan sejak awal 2000-an.
"Mereka membuat kami seperti tersangka teroris. Kami tak pernah melakukan sesuatu yang salah," katanya.
Pada 2011, terdapat kebocoran dokumen yang mengungkapkan adanya 114 file kepolisian Jepang berisi profil keagamaan umat Muslim di seluruh negara tersebut. Dokumen-dokumen memuat berbagai hal seperti informasi pribadi, nama individu, deskripsi fisik, hubungan pribadi hingga masjid yang mereka hadiri.
File juga menunjukkan saat Konferensi Tingkat Tinggi G8 pada 2008 di Hokkaido, setidaknya 72 ribu warga dari negara-negara Organisasi Kerja Sama Islam juga dicatat profilnya, termasuk di antaranya 1.600 siswa sekolah umum di dan sekitar Tokyo.
Menurut laporan yang dikutip Aljazirah, Rabu (29/6), polisi menyatakan mereka juga mengawasi tempat ibadah, restoran halal dan organisasi terkait Islam.
Fujita, bersama penggugat lain yang umumnya berasal dari Timur Tengah dan Afrika Utara berharap pengadilan menyatakan praktik-praktik polisi tersebut ilegal. Pengacara mereka mengatakan, polisi telah melanggar hak konstitusional mereka terkait privasi, perlakuan yang sama dan kebebasan beragama.
Namun dua kali banding terhadap kasus ini telah ditolak Mahkamah Agung Jepang. Hakim sependapat dengan pengadilan yang lebih rendah mengatakan, penggugat layak mendapat dana kompensasi sebesar 880 ribu dolar Amerika Serikat karena dokumen yang bocor melanggar privasi. Tapi Mahkamah Agung menyatakan upaya polisi diperlukan untuk menjaga ancaman terorisme internasional.