Ahad 10 Jul 2016 12:24 WIB

Tanzania dan Gambia Larang Pernikahan Anak

Rep: Gita Amanda/ Red: Agung Sasongko
Pernikahan  (ilustrasi)
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Pernikahan (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Dua negara bekas koloni Inggris, Tanzania dan Gambia, membuat keputusan untuk meloloskan undang-undang yang melarang pernikahan anak. Hal tersebut mendapat sambutan baik dari kelompok-kelompok Hak Asasi Manusia.

Human Rigths Watch (HRW) mengatakan, di Tanzania dimana tingkat pernikahan anak mencapai sekitar 37 persen hal ini merupakan langkah penting ke depan. Pernikahan dini menurut HRW menghalangi perempuan memperoleh pendidikan dan peluang. Pernikahan juga meningkatkan risiko kematian atau cedera serius saat melahirkan. Pengantin anak juga berisiko besar mengalami kekerasan dalam rumah tangga maupun seksual.

Dilansir The Independent Ahad (10/7), kelompok advokasi perempuan Msichana Initiative mengajukan tuntutan pada Undang-undang Perkawinan Tanzania, yang memungkin pernikahan gadis 15 tahun, sebagai sesuatu yang tak konstitusional. Kini pernikahan di bawah 18 tahun di negara itu telah dilarang.

Di Gambia, di mana sekitar 30 persen anak perempuan di bawah umur menikah, Presiden Yahya Jammeh mengumumkan pelarangan pada Rabu (6/7). Oa mengatakan pernikahan di bawah 18 tahun kini ilegal di Gambia.

"Jika Anda ingin tahu apakah yang saya katakan benar atau tidak, coba saja dan nanti kita lihat," ujarnya.

Istri Jammeh, Zineb Jammeh, mendukung kuat pelarangan pernikahan anak. Menghapus pernikahan anak menurutnya telah menjadi prioritas, sebab hal itu akan memungkinkan gadis-gadis muda mengembangkan dan berkontribusi untuk pembangunan.

Presiden memperingatkan pelanggaran akan hal itu akan menghadapi hukuman berat. Suami maupun orang tua yang menikahkan gadis di bawah umur akan diganjar hukuman 20 tahun penjara.

Langkah ini disambut oleh kelompok-kelompok hak asasi di Gambia tetapi beberapa menyatakan kekhawatiran bahwa memenjarakan orang t8ua yang menikahkan anak perempuan mereka bisa memunculkan serangan balasan. Di dalam negeri sekitar sepertiga dari perempuan menikah, menikah sebelum mereka berusia 18.

Menurut kelompok Girls Not Brides (GNB), larangan menikah saja tdak cukup. Menurut mereka sangat penting memberdayakan perempuan untuk melindungi hak-hak mereka dan memberikan alternatif seperti pendidikan.

Isatou Jeng dari kelompok Girls Agenda mengatakan pemerintah semestinya melibatkan masyarakat setempat untuk mencoba mengubah sikap mereka terkait pernikahan anak. Bukannya malah mengancam keluarga dengan hukuman penjara

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement