Ahad 10 Jul 2016 12:54 WIB

Tanzania dan Gambia Larang Pernikahan Anak

Rep: Gita Amanda/ Red: Esthi Maharani
Presiden Gambia Alhaji Yahya Jammeh
Foto: AP
Presiden Gambia Alhaji Yahya Jammeh

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Negara bekas koloni Inggris, Tanzania dan Gambia, membuat keputusan untuk meloloskan undang-undang yang melarang pernikahan anak. Hal tersebut mendapat sambutan baik dari kelompok-kelompok Hak Asasi Manusia.

Human Rigths Watch (HRW) mengatakan, di Tanzania tingkat pernikahan anak mencapai sekitar 37 persen. Larangan pernikahan anak pun dinilainya menjadi langkah penting ke depan. Pernikahan dini menurut HRW menghalangi perempuan memperoleh pendidikan dan peluang. Pernikahan juga meningkatkan risiko kematian atau cedera serius saat melahirkan. Pengantin anak juga berisiko besar mengalami kekerasan dalam rumah tangga maupun seksual.

Dilansir The Independent Ahad (10/7), kelompok advokasi perempuan Msichana Initiative mengajukan tuntutan pada Undang-undang Perkawinan Tanzania, yang memungkin pernikahan gadis 15 tahun, sebagai sesuatu yang tak konstitusional. Kini pernikahan di bawah 18 tahun di negara itu telah dilarang.

Sementara di Gambia, sekitar 30 persen anak perempuan di bawah umur menikah. Presiden Yahya Jammeh pun mengumumkan pelarangan pernikahan anak pada Rabu (6/7). Ia mengatakan pernikahan di bawah 18 tahun kini ilegal di Gambia.

"Jika Anda ingin tahu apakah yang saya katakan benar atau tidak, coba saja dan nanti kita lihat," ujarnya.

Istri Jammeh, Zineb Jammeh, mendukung kuat pelarangan pernikahan anak. Menghapus pernikahan anak menurutnya telah menjadi prioritas, sebab hal itu akan memungkinkan gadis-gadis muda mengembangkan dan berkontribusi untuk pembangunan.

Presiden memperingatkan pelanggaran akan hal itu akan menghadapi hukuman berat. Suami maupun orang tua yang menikahkan gadis di bawah umur akan diganjar hukuman 20 tahun penjara.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement