REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengadilan Arbitrase PBB di Den Haag, Belanda mengeluarkan putusan terkait klaim Cina atas wilayah Laut Cina Selatan. Cina disebut tidak memiliki hak sejarah yang dapat membuktikan kepemilikan negara itu atas sebesar lebih dari 80 persen wilayah di dalamnya.
Sejumlah ahli diplomatik strategis Asia menjelaskan keputusan tersebut dapat meningkatkan ketegangan di kawasan perairan Laut Cina Selatan. Perpecahan antara negara yang bersengketa, serta sejumlah negara yang memiliki hak atas wilayah di dalamnya, termasuk ASEAN sangat mungkin terjadi.
Termsak Chalermpalanupap, peneliti kawasan Asean dari ISEAS Yusof Ishak Institut Singapura mengatakan Cina pasti dengan tegas menolak keputusan pengadilan arbitrase internasional tersebut. Reklamasi lahan serta pembangunan di atas pulau buatan kemungkinan besar akan semakin diintensifkan oleh negara tersebut di atas wilayah yang disengketakan.
Elina Noor direktur dari institut kajian kebijakan luar negeri dan keamanan di Malaysia khawatir dengan semakin memburuknya ketegangan di Laut Cina Selatan. Dimungkinkan pihak yang tidak puas dengan hasil keputusan mahkamah internasional ini meningkatkan pertahanan dengan cara yang agresif seperti manuver kapal.
Baca juga, Sengketa Laut Cina Selatan, Cina: Filipina Abaikan Perundingan Langsung.
Sementara itu, Ngeow Chow Bing, wakil direktur Institut Studi Cina di Universitas Malaya mengatakan hal ini berbahaya karena keputusan itu dapat meningkatkan rasa nasionalisme yang berlebihan. Cina dapat semakin menganggap bahwa Filipina adalah musuh besar bagi negaranya. Demikian dengan negara-negara di Asean yang juga mengajukan tuntutan.