Rabu 20 Jul 2016 13:26 WIB

PM Irak Terima Pengunduran Diri Lima Menteri

PM Irak Haider al-Abadi
Foto: Reuters
PM Irak Haider al-Abadi

REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD -- Perdana Menteri Irak Haider Al-Abadi pada Selasa (19/7) menerima pengunduran diri lima menteri kabinetnya, sebagai bagian dari program pembaruan antikorupsi yang meliputi perombakan mendasar kabinet.

Di dalam pernyataan singkat yang dikeluarkan oleh kantornya, Al-Abadi menerima baik pengunduran diri menteri perminyakan, perhubungan, pembangunan kembali dan perumahan, sumber daya air, industri dan dalam negeri.

Menteri Dalam Negeri Mohammed Al-Ghabban mengajukan pengunduran diri kepada Al-Abadi pada 5 Juli, dua hari setelah pengeboman besar di daerah Karrada di Baghdad Tengah yang menewaskan 165 orang dan melukai 225 orang lagi. Tapi pengunduran dirinya secara resmi baru diterima dalam keputusan pada Selasa.

Pada Jumat (15/7), puluhan ribu orang Irak berpawai di Bundaran Tahrir di pusat Kota Baghdad sebagai tanggapan bagi seruan tokoh agama terkenal syiah Moqtada As-Sadr untuk melindungi Irak dari sekatarianisme dan korupsi. As-Sadr tampil dalam pertemuan terbuka tersebut dan ikut meneriakkan slogan mereka, sebelum salah seorang pembantunya membacakan pidatonya.

As-Sadr menuntut pemecatan semua pejabat korup di lembaga pemerintah, termasuk pejabat tinggi. Ia memperingatkan jika pemerintah gagal memenuhi tuntutannya, demonstran akan bertindak lebih jauh dan menuntut pengunduran diri presiden, perdana menteri serta ketua parlemen, tiga pemimpin tertinggi di negeri itu.

Al-Abadi melakukan perombakan mendasar di dalam kabinetnya pada penghujung Maret, ketika ia mengajukan daftar 14 calon ke parlemen bagi susunan kabinet baru termasuk teknokrat independen, tapi tindakan tersebut menghadapi penolakan dari partai lain di parlemen.

Beberapa blok politik dan politikus tampaknya tidak setuju dengan pembaruan semacam itu sebab mereka melihatnya sebagai cara untuk menyingkirkan faksi mereka dalam pemerintah yang mulanya dibentuk berdasarkan kesepakatan pembagian kekuasaan.

Serangkaian langkah pembaruan yang gagal telah melumpuhkan parlemen Irak dan pemerintahnya saat negara tersebut berjuang memerangi kelompok fanatik ISIS, yang merebut banyak wilayah di Irak Barat dan Utara. Negara itu juga terperangkap dalam krisis ekonomi, sebagian akibat merosotnya harga minyak global.

Banyak rakyat Irak berpendapat bahwa serbuan ke Irak pada 2003 oleh AS, Inggris dan negara lain koalisi adalah bencana buat sebagian besar warga Irak. Menurut data Pemerintah Irak, ratusan ribu warga sipil kehilangan nyawa dalam konflik setelah serbuan 2003, sedangkan perhitungan tak resmi memperkirakan jumlah korban jiwa akibat aksi militer dan pergolakan antar-kelompok mencapai lebih dari satu juta.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement