Rabu 20 Jul 2016 15:40 WIB

Australia akan Tetap Berpatroli di Laut Cina Selatan

Australia telah melaksanakan Operasi Gateway di Laut Cina Selatan sebanyak 32 kali tahun ini.
Foto: abc
Australia telah melaksanakan Operasi Gateway di Laut Cina Selatan sebanyak 32 kali tahun ini.

REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Kepala Staf Angkatan Udara Australia (RAAF) Marsekal Udara Leo Davies menegaskan tetap menginginkan kapal perang dan pesawat-pesawat udara tetap berlayar dan terbang di wilayah Laut Cina Selatan, meskipun ketegangan militer meningkat di wilayah perairan yang dipersengketakan tersebut.

Pernyataan Marsekal Davies ini dikemukakan seminggu setelah keputusan peradilan arbitrase internasional yang menolak klaim Beijing atas wilayah yang dipersengketakan. Para perencana di lingkungan Angkatan Bersenjata di Canberra terus memantau perkembangan di wilayah utara Australia tersebut.

Sejauh ini, Australia telah melaksanakan 32 kali penerbangan dalam Operation Gateway, namun RAAF menyatakan jumlah kegiatan patroli di Laut Cina Selatan konsisten dengan jumlah kegiatan serupa di masa lalu. Marsekal Davies mengindikasikan tempo operasi seperti itu akan terus berlanjut.

Baca: Militer Cina Berada di LCS Sebagai Reaksi Terhadap AS

"Angkatan Udara akan fokus membangun dan mendorong ketertiban umum yang berbasis hukum," katanya. "Angkatan Udara akan bekerja sama dengan sekutu kita, mitra dan pihak Angkatan Udara negara lainnya yang sejalan guna memastikan bagaimana kita bisa berkontribusi secara nyata menjamin kebebasan navigasi," katanya.

Tanpa menyebut Laut Cina Selatan secara khusus, Marsekal Davies menyatakan Australia akan tetap memenuhi tujuan keterlibatan internasionalnya sebagaimana ditetapkan dalam Buku Putih Pertahanan tahun ini.

"Kita perlu mengirimkan P3, tanker dan hornet, kapal perang. Kita perlu menuju ke tempat dimana tetangga kita berada dan bisa menjalankan fungsi seperti yang terjadi dalam 30, 40 tahun lebih. Jadi yang saya coba uraikan dalam hal ini kita harus mampu melanjutkan apa yang telah kita lakukan selama bertahun-tahun tanpa adanya resistensi," ujarnya.

'Upaya diplomatik mungkin tak berhasil kali ini'

Di awal 1980-an di tengah situasi Perang Dingin, Royal Australian Air Force (RAAF) memulai penerbangan mata-mata dari pangkalan udara Butterworth di Malaysia dalam operasi dengan sandi Gateway. Pesawat-pesawat RAAF memantau kapal dan kapal selam Soviet di wilayah itu, namun setelah Perang Dingin berakhir Operation Gateway mengalihkan fokusnya pada keamanan maritim.

Saat ini Operation Gateway berlanjut sebagai kontribusi Australia dalam menjaga keamanan regional dan stabilitas di Asia Tenggara. Patroli kebebasan navigasi dari RAAF secara berkala memasuki Laut Cina Selatan, dan patroli itu secara rutin menghadapi tantangan.

Sejalan dengan meningkatnya ketegangan regional terkait ekspansi militer Cina di Laut Cina Selatan, PM Singapura Lee Hsien Loong mengemukakan adanya kesamaan historis.

"Kita pernah berada dalam posisi serupa sebelumnya. Selama Perang Dingin, Asia Tenggara berada di garis depan dan bisa saja mengarah ke arah yang salah, tapi untungnya posisinya tetap terjaga," katanya. "."

Namun PM Lee memperingatkan upaya-upaya diplomatik kali ini mungkin tidak sesukses dibanding sebelumnya. "Kita berharap bisa menjaga posisi (Asia Tenggara) itu, namun jika ternyata awan dan awan gelap toh datang juga, kita harus menemukan jalan melewati kerumitan itu. Kita harus melakukannya," katanya.

sumber : http://www.australiaplus.com/indonesian/berita/australia-akan-tetap-patroli-di-laut-china-selatan/7644022
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement