REPUBLIKA.CO.ID, DUBAI -- Perunding pemerintah Yaman mengatakan mereka meninggalkan pertemuan damai di Kuwait pada Senin (1/8) setelah milisi Houthi menolak proposal PBB yang ditujukan untuk mengakhiri perang yang berkecamuk di negara mereka.
Menteri Luar Negeri Abdel Malek Al Mekhlafi bersikeras pemerintah tidak menyingkirkan proses perdamaian, namun mengatakan bahwa itu hanya akan kembali jika pihak Houthi dan sekutu setempat mereka yang kuat mencabut protes mereka terhadap rencana PBB.
"Kami menyepakati inisiatifnya, kami saat ini meninggalkan wilayah negara saudara kami, Kuwait, namun kami tidak meninggalkan diskusi itu. Kami akan kembali sewaktu-waktu, bahkan satu jam setelah kepergian kami, jika pihak lain sepakat untuk menandatangani dokumen yang diajukan oleh perwakilan (PBB) ini," Mekhlafi mengatakan saat mengumumkan langkah tersebut.
Perwakilan dari PBB, Ismail Ould Cheikh Ahmed mengajukan para musuh pemerintah dalam pergerakan bersenjata Houthi keluar dari tiga kota utama yang mereka duduki, termasuk ibu kota Sanaa. Di bawah rencana ini, pertemuan baru akan diadakan untuk membentuk sebuah pemerintahan yang akan memasukkan perwakilan dari kalangan Houthi, duta itu menyebutkan.
Duta itu mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa pertemuannya akan dilanjutkan. "Kepergian perwakilan Pemerintah yaman dari Kuwait bukanlah pergi dari Pertemuan Damai," Ould Cheikh Ahmed mengatakan.
"Kami sepakat dengan para pihak tetap menjaga keberlangsungan diskusi hingga kami menyepakati langkah lanjut dalam beberapa hari ke depan yang akan digunakan untuk mengadakan pertemuan yang intensif dengan para lawan-lawan pemerintah begitu pula dengan para diplomat internasional," ujarnya.
Houthi menolak proposal PBB pada Ahad, menyebutkan dalam sebuah pernyataan kesepakatan apa pun harus komprehensif dan tidak menunda penyelesaian sejumlah isu besar. Mereka mengatakan akan tetap berada di Kuwait untuk menghadiri pertemuan.
Negosiasi yang dimulai pada April lalu itu telah mengurangi pertempuran di penjuru negara, yang telah menewaskan setidaknya 6.400 orang dan menjadi penyebab dari salah satu krisis kemanusiaan terburuk di dunia.
sumber : Antara