REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA – Negara-negara yang berada di kawasan Asia Timur Laut membutuhkan kerja sama yang saling menguntungkan bagi semua pihak. “Sebuah kerja sama yang saling menguntungkan, damai, produktif, dan berkelanjutan antara bangsa-bangsa di kawasan Asia Timur Laut sangat dibutuhkan, tidak hanya oleh masyarakat kawasan Asia Timur Laut, tapi juga masyarakat dunia,” kata mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Prof Dr Ir Rokhmin Dahuri MS.
Rokhmin mengutarakan hal itu saat menjadi salah satu nara sumber Eminent Expert Meeting on Promoting Regional Cooperation for Peace, Stability, and Prosperity in East Asian Saes yang digelar Habibie Center bekerja sama dengan Sasakawa Peace Foundation di Hotel Armitage Jakarta, Senin (1/8/2016). Acara tersebut diawali dengan jamuan makan malam di rumah kediaman pribadi mantan Presiden BJ Habibie, Patra Kuningan, Jakarta, Ahad (31/7/2016).
Rokhmin menambahkan, negara-negara di kawasan Asia Timur Laut, terutama China dan ASEAN, sejak Resesi Ekonomi Dunia di tahun 2008 telah menjadi mesin pertumbuhan ekonomi global. “China dan ASEAN dikombinasikan secara ekonomi sebagai kawasan paling dinamis di dunia dengan tingkat pertumbuhan adalah tiga sampai empat kali lebih tinggi dari negara-negara maju termasuk Amerika Serikat, Kanada, Uni Eropa, dan Australia,” ungkap Guru Besar dan Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Program Pasca Sarjana IPB Bogor itu.
Rokhmin menambahkan, dalam rangka membangun kestabilan, kemakmuran, dan perdamaian wilayah Asia Timur Laut secara berkelanjutan, masing-masing negara di kawasan ini harus menerapkan aturan Golden Rule of Life. “Yaitu, jangan lakukan kepada orang lain apa yang Anda tidak ingin orang lain lakukan untuk Anda . Atau dengan kata dalam bahasa yang lebih positif, lakukan kepada orang lain apa yang Anda ingin orang lain lakukanuntuk Anda. Golden Rule of Life ditemukan dalam semua agama,” tutur Rokhmin yang juga Ketua Umum Masyarakat Aquakultur.
Rokhmin menambahkan, faktor timbal balik ini juga bekerja dalam politik internasional dan pemerintahan global. “Jika kita ingin negara-negara lain dan masyarakat untuk menghormati kedaulatan kita, integritas dan hak-hak kita, kita juga harus menghormati kedaulatan, integritas dan hak-hak mereka,” ujar Rokhmin yang juga Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Maritim dan Perikanan.
Rokhmin menegaskan, dalam rangka membangun damai, stabil, dan sejahtera wilayah Asia Timur Laut secara berkelanjutan, idealnya dalam menyelesaikan sengketa maritim baik dalam bentuk klaim batas maritim atau penggunaan sumber daya alam bertentangan semua bangsa harus menggunakan hukum hukum internasional yang sama yaitu 1982 UNCLOS (konvensi PBB tentang Hukum Laut).
Selain itu, kata Rokhmin, semua negara yang terlibat dalam sengketa maritim harus menghormati dan mematuhi hukum internasional. “Namun, penolakan China terhadap putusan baru-baru ini di Pengadilan Tetap Arbitrase sehubungan dengan Filipina dan China mengklaim lebih dari batas maritim dan sumber daya yang digunakan di bagian Laut Cina Selatan telah memberi kita pelajaran berharga dan membuka pendekatan alternatif untuk menyelesaikan konflik maritime,” tuturnya.
Rokhmin mengungkapkan, iItu adalah win-win dan resolusi damai melalui negosiasi damai antara negara-negara yang terlibat dalam sengketa. “Kita harus menghindari keterlibatan dari pihak ketiga (negara yang tidak memiliki klaim batas maritim), kecuali jika keterlibatan tersebut sangat dibutuhkan oleh negara-negara yang terlibat dalam sengketa),” paparnya.
Dengan demikian, kata Rokhmin, untuk menyelesaikan sengketa maritim di Laut Cina Selatan antara China dan ASEAN, terutama negara-negara penggugat (Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei Darussalam), mereka harus menerapkan dan mematuhi DOC yang sudah disepakati (Deklarasi Perilaku) dan COC ( kode Etik) di Laut Cina Selatan. “Pada saat yang sama, Cina dan negara-negara anggota ASEAN harus menjamin kebebasan navigasi,” ujar Rokhmin Dahuri.
Pertemuan yang berakhir Selasa (2/8/2016) itu melibatkan para tokoh dari berbagai negara, yakni China, Indonesia, Jepang, dan Amerika Serikat. Pertemuan tersebut juga dihadiri direktur dan peneliti The Habibie Center dan Sasakawa Peace Foundation.