Sabtu 06 Aug 2016 09:16 WIB

Menlu Turki Cap Austria Sebagai Ibukota Rasisme Radikal

Rep: Gita Amanda/ Red: Bilal Ramadhan
Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu (kiri)
Foto: AP Photo/Alik Keplicz
Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu (kiri)

REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu mengecam Austria dan menyebut negara itu sebagai "ibukota rasisme radikal. Pernyataan tersebut menanggapi saran Kanselir Austria Christian Kern yang mengatakan Uni Eropa harus mengakhiri pembicaraan keanggotaan dengan Turki.

Dilansir Aljazirah, Cavusoglu mengatakan dalam sebuah wawancara pada Jumat (5/8), kanselir Austria perlu introspeksi diri. Menurutnya komentar kanselir terkait keanggotaan Turki di Uni Eropa, "buruk".

"Hari ini Austria adalah ibukota rasisme radikal. Sungguh ironis bahwa negara di tengah aliran rasisme seperti ini mengatakan warga kami radikal," kata Cavusoglu.

Para pemimpin Eropa sebelumnya menyuarakan keprihatinannya atas tindakan keras Presiden Recep Tayyip Erdoga setelah upaya kudeta gagal di Turki bulan lalu. Kanselir Kern pada Rabu (3/8), mengatakan ia akan berdiskusi dengan para kepala Eropa untuk mengakhiri pembicaraan dengan Turki.

"Kita tahu bahwa standar demokrasi jelas tak cukup untuk membenarkan aksesi (Turki)," kata Kern dalam sebuah wawancara dengan ORF Austria.

Menteri Luar Negeri Austria Sebastian Kurz bergabung dalam perdebatan lisan dan mengatakan, Ankara harus memoderatkan kata-kata dan aksinya. Melalui juru bicaranya Kurz menolak kritikan Cavusoglu pada Austria.

"Ankara harus memoderatkan pilihan kata-kata dan tindakannya (di dalam negeri) juga melakukan pekerjaan rumahnya," kata juru bicara mengutip Kurz.

Sementara itu pada hari Jumat (5/8), Menteri Luar Negeri Jerman Frank-Walter Steinmeier menolak panggilan Austria untuk menghentikan pembicaraan dengan Turki. Dia mengatakan Uni Eropa harus berpikir lebih luas tentang bagaimana membingkai hubungan dengan Ankara di masa-masa yang penuh tantangan.

"Saya akan berupaya untuk memastikan dialog dengan Turki tak terjadi semata-mata melalui megafon, mikrofon dan kamera," kata Steinmeier.

Steinmeier mengatakan dia berharap untuk mengembalikan pembicaraan langsung antara Berlin dan Ankara terkait aksesi Uni Eropa. Menurutnya yang penting saat ini adalah mengelola hubungan dengan Turki dalam situasi sulit ini dan apa yang bisa dilakukan untuk mereka yang telah ditangkap setelah upaya kudeta.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement