Ahad 07 Aug 2016 05:05 WIB

Saat Warga Jepang Merencanakan Kematian

Rep: Shelbi Asrianti/ Red: Achmad Syalaby
Warga Jepang menikmati aktivitas piknik di taman saat musim sakura berkembang
Foto: AP PHOTO
Warga Jepang menikmati aktivitas piknik di taman saat musim sakura berkembang

REPUBLIKA.CO.ID,Berbicara tentang kematian masih menjadi hal tabu bagi sebagian penduduk Jepang. Namun, pantangan itu mulai bergeser sejak populernya sebuah film di tahun 2008 berjudul Departures.

Film itu menggambarkan ritual nokan, upacara pembersihan tubuh jenazah (pengaruh ajaran Buddha) sebelum diletakkan dalam peti mati untuk kremasi. Kesuksesan film menyebabkan peningkatan permintaan untuk melakukan nokan di Jepang. 

Tak lama setelah itu, majalah Weekly Asahi mulai mempromosikan ide shukatsu alias perencanaan akhir kehidupan. Pembaca yang tertarik, sekaligus terpicu bencana tsunami tahun 2011, mulai menerima ide itu secara terbuka. 

"Jika saya mati, siapa yang akan mengurus pemakaman saya, menyelesaikan urusan saya, dan melaksanakan wasiat saya?" demikian agaknya yang ada dalam pikiran mereka seperti dilansir The Economist.

Pergeseran budaya tersebut juga disebabkan oleh kondisi demografi penduduk Jepang. Pada tahun 2040, kematian tahunan di Jepang diduga mendekati 1,7 juta jiwa, ditambah dengan kecenderungan pasangan muda Jepang yang memiliki anak lebih sedikit. 

Puncak populasi 127 juta jiwa diprediksi akan turun di bawah 100 juta pada tahun 2050. Tahun ini, sekitar satu juta bayi di Jepang diperhitungkan bakal lahir dan sekitar 1,3 juta orang akan meninggal.

Secara tradisional, anak (dengan bantuan tetangga) menangani urusan orang tua yang meninggal untuk upacara pemakaman. Sayangnya, mayoritas warga Jepang di daerah pedesaan menanti kematian sendirian atau hanya dengan sedikit orang di sekelilingnya.

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement