Senin 22 Aug 2016 15:12 WIB

1.800 Orang Tewas dalam 'Perang' Narkoba di Filipina

Rep: Gita Amanda/ Red: Teguh Firmansyah
Presiden terpilih Filipina Rodrigo Duterte
Foto: AP Photo/Bullit Marquez
Presiden terpilih Filipina Rodrigo Duterte

REPUBLIKA.CO.ID, MANILA -- Polisi mengatakan pada Senin (22/8), jumlah pembunuhan terkait narkoba sejak Presiden Rodrigo Duterte menyatakan perang terhadap narkoba meningkat dua kali lipat menjadi hampir 1.800 jiwa. Laporan ini keluar sehari setelah Duterte mengecam kritikan PBB terkait gelombang kematian ini.

Pada Senin, Kepala Kepolisian Nasional Filipina Ronald Dela Rosa mengatakan kepada komite Senat mereka sedang menyelidiki pembunuhan ekstra-yudisial terhadap 712 pengedar narkoba dan pengguna yang tewas selama operasi polisi. Dela Rosa mengatakan, polisi juga menyelidiki 1.067 pembunuhan terkait narkoba di luar operasi polisi.

Pernyataan Dela Rosa disampaikan sehari setelah Duterte mengatakan Filipina akan meninggalkan PBB. Pernyataan tersebut merespon kritikan keras PBB terhadap gelombang kematian di Filipina. Duterte dalam konferensi persnya pada Ahad (21/8), juga mengundang Cina untuk membentuk sebuah forum global yang baru.

Namun, Menteri Luar Negeri Filipina, Perfecto Yasay mengatakan pada Senin bahwa Filipina akan tetap menjadi anggota PBB. Ia menjelaskan komentar presiden sebagai ungkapan kekecewaan yang mendalam dan frustasi.

"Kami berkomitmen tetap di PBB meski banyak hal yang membuat frustasi dan kekecewaan dengan lembaga internasional," kata Yasay dalam konferensi pers.

Baca juga, Sisi Kelam Pemberantasan Narkoba Duterte, Lahirnya Petrus-Petrus Baru.

Yasay mengatakan Duterte telah berjanji menegakkan hak asasi manusia dalam perang melawan narkoba dan telah memerintahkan polisi untuk menyelidiki dan menuntut pelaku. Ia mengkritik pelapor PBB yang menyatakan Filipina melanggar hak asasi manusia.

"Hal ini sangat tidak bertanggung jawab mereka berkomentar semata-mata bergantung pada dugaan berdasarkan informasi dari sumber yang tak disebutkan namanya tanpa pembuktian tepat," katanya.

Pekan lalu, dua ahli hak asasi manusia PBB mendesak Manila untuk mengentikan eksekusi ekstra-yudisial dan pembunuhan yang meningkat sejak Duterte menjadi presiden.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement