REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Heru Pambudi mengatakan, harga rokok yang diperdagangkan di Indonesia justru terbilang mahal dibandingkan dengan negara-negara lain, termasuk negara maju. Nilai ini dibandingkan melalui rasio antara harga dengan produk domestik bruto (PDB) per kapita.
Menurut Heru, secara nominal memang harga jual rokok di Indonesia masih terbilang rendah dibandingkan dengan negara seperti Singapura ataupun Jepang. Namun ketika harga ini dibandingkan dengan daya beli masyarakat Indonesia, harga rokok justru masih mahal.
"Kalau kita bandingkan dengan relatif terhadap PDB kita per kapita per hari, maka sebenarnya harga jual satu batang rokok kita itu termasuk yang tertinggi. Karena kan dia harga pasti harus relatif dibandingkan kemampuan daya beli toh, dan itu kemampuan dari PDB kita," kata Heru
Heru menjelaskan, secara statistik tingkat konsumsi rokok terhadap PDB per kapita Indonesia berada di angka 0,8 persen. Sementara di negara-negara seperti Jepang, justru jauh lebih rendah dengan 0,2 persen. Artinya harga rokok di Indonesia sudah mahal dengan tingkat daya beli masyarakat yang rendah.
Baca juga, Kepala BKKBN Dukung Harga Rokok Naik.
"Memang nominalnya lebih murah dibandingkan negara-negara maju. Tapi harus diingat, semua itu dikendalikan juga dari daya belinya," kata Heru.
Dia menegaskan, pemerintah saat ini belum memutuskan untuk menetapkan harga kenaikan cukai serta harga jual eceran. Hal ini sekaligus mematahkan isu mengenai harga rokok per bungkus yang mencapai Rp 50 ribu per bungkus.