REPUBLIKA.CO.ID, GENEWA -- Kantor HAM PBB menyambut baik keputusan Prancis untuk menangguhkan larangan burkini, Rabu (30/8). Jumat lalu, pengadilan administratif tertinggi Prancis, Council of State tidak membenarkan larangan penggunakan pakaian renang tertutup di area pantai.
Pengadilan Prancis Tangguhkan Larangan Burkini
Juru bicara Office of the UN High Commissioner for Human Rights (OHCHR), Rupert Colville mengatakan PBB menyeru otoritas di seluruh kota dekat laut dan penginapan yang mengadopsi larangan untuk mengikuti keputusan pengadilan. Conseil d'Etat memutuskan larangan burkini itu adalah pelanggaran kebebasan fundamental dan tidak sesuai dengan konstitusi.
"Kami mendesak semua otoritas lokal untuk menghapusnya segera," kata Conville pada reporter di Genewa dikutip dari situs PBB. Ia berpendapat larangan itu tidak layak diterapkan. Menurut standar HAM internasional, Conville menambahkan, pembatasan terhadap kepercayaan hanya dibolehkan dalam situasi terbatas.
Termasuk pembatasan dalam hak memilih pakaian, hanya dibolehkan di situasi tertentu seperti untuk keamanan publik, hukum, kesehatan atau moral. Ia menambahkan, dibawah hukum HAM internasional, aturan yang diadopsi atas nama publik harus layak, perlu dan proporsional.
Conville menegaskan bahwa OHCHR sangat mengerti, ikut berduka juga geram atas aksi teror di Prancis. Namun dekrit ini tidak akan meningkatkan situasi keamanan. Malah melecut ketidaktoleranan di tengah masyarakat. Larangan ini juga meningkatkan stigma buruk terhadap Muslim, khususnya Muslim perempuan di Prancis.
"Larangan pakaian ini sebenarnya merusak upaya memerangi dan mencegah ekstrimisme," kata dia.
Padahal memerangi teror hanya bisa dilakukan dengan kerjasama masyarakat dan saling menghormati antarkomunitas. Ia menambahkan, setiap aturan publik harus diterapkan dengan menargetkan mereka yang memicu kebencian atau bereaksi keras. Larangan penggunaan burkini tidak demikian.
"Malah menargetkan perempuan yang sebenarnya hanya ingin berjalan-jalan di pantai, atau berenang menggunakan pakaian yang membuat mereka nyaman," katanya.
Dilansir dari Euronews, Conville menyebut larangan itu adalah reaksi yang bodoh atas aksi teror yang terjadi selama ini. Sebelumnya, Perdana Menteri Prancis, Manuel Valls juga mengatakan larangan itu merusak simbol kebebasan nasional dan sekularisme Prancis. Sejauh ini, larangan burkini berlaku di 30 penginapan pantai Prancis. Komisioner Tinggi PBB untuk HAM, Zaid Ra'ad al-Hussein mengatakan larangan bersifat diskriminatif hanya pada pakaian yang identik dengan perempuan Muslim.
"Kebijakan ini diskriminatif, menghina dan kontraproduktif," kata dia, dikutip VOANews.
Zeid secara personal juga mengatakan siapa pun yang menggunakan burkini tidak bisa disalahkan atas aksi kekerasan yang dilakukan orang lain. Sebelumnya, larangan burkini dikaitkan dengan ketidakhigienisan pemakainya. Conville mengatakan burkini tidak ada hubungannya dengan kesehatan atau kehigienisan. Cannes adalah wilayah pertama yang melarang pakaian renang tertutup itu. Isu ini kemudian disoroti secara global. Khususnya ketika foto seorang perempuan berburkini dikelilingi polisi bersenjata di pantai Nice. Ia terpaksa membuka penutup kepalanya.
Pengacara-pengacara kelompok HAM dan Muslim menantang larangan di Villeneuve-Loubet itu di pengadilan. Mereka menuduh petinggi kota terlalu berlebihan hingga harus mendikte apa yang boleh dipakai perempuan di pantai.
Pengacara Patrice Spinosi yang mewakili Human Rights League mengatakan perempuan yang didenda karena burkini bisa mengajukan banding setelah muncul putusan Council of State. Spinosi menambahkan pejabat-pejabat diminta menarik larangan. Jika menolak, maka mereka akan mengajukan kasus itu ke pengadilan.
Sebelumnya, putusan Council of State berisi "Emosi dan kekhawatiran yang timbul dari serangan teroris, terutama yang dilakukan di Nice pada 14 Juli, tidak bisa cukup membenarkan hukum larangan yang diperdebatkan".