REPUBLIKA.CO.ID, HANGHZOU, CINA -- Cina dan Amerika Serikat meratifikasi Perjanjian Paris di Hangzhou, Provinsi Zhejiang, Cina, pada Sabtu (3/9). Pengesahan itu dilakukan sehari sebelum pelaksanaan KTT ke-11 G20 pada 4-5 September 2016.
Dokumen instrumen ratifikasi tersebut diserahkan kedua negara secara terpisah kepada Sekjen PBB Ban Ki Moon. Ban tengah berada di Hangzhou untuk menghadiri pertemuan puncak pemimpin negara kelompok 20.
Ban Ki Moon berharap penyelenggaraan KTT ke-11 G20 dapat menjadi momentum percepatan ratifikasi Perjanjian Paris mengenai perubahan iklim. Ratifikasi Perjanjian Paris oleh Cina dan AS menjadi pesan penting bagi komunitas internasional untuk mengatasi perubahan iklim dan pemanasan global.
Presiden Cina Xi Jinping mengatakan masalah perubahan iklim dan pemanasan global menyangkut kelangsungan masa depan, dan semua negara terutama negara besar dan maju harus menyadari hal tersebut.
"Cina sebagai salah satu negara berkembang dan bagian dari masyarakat internasional, memiliki tanggung jawab terhadap kelangsungan masa depan yang lebih baik," katanya.
Sebelumnya Perjanjian Paris telah diratifikasi oleh 21 negara antara lain Palestina, Barbados, Belize, Fiji, Grenada, Maladewa, Kepulauan Marshall, Mauritius, Nauru, Palau, Saint Kitts dan Nevis, Saint Lucia, Samoa, Somalia, Tuvalu, Seychelles, Guyana, Korea Utara, Bahama, Kamerun dan Peru.
Dalam pasal 21 paragraf pertama Perjanjian Paris disebutkan, perjanjian ini baru bisa berlaku tiga puluh hari setelah setidaknya 55 negara dengan jumlah emisi gas rumah kaca kumulatif sebesar 55 persen dari emisi GRK dunia, telah menyerahkan persetujuan, penerimaan, ratifikasi mereka.
Negara-negara dengan emisi gas rumah kaca yang tinggi, seperti Rusia, Uni Eropa, Jepang, dan India, juga menandatangani Perjanjian Paris, namun belum meratifikasi.
Perjanjian Paris yang merupakan pengganti Protokol Kyoto, memuat perjanjian pembatasan kenaikan suhu global berada di bawah 2 derajat Celcius serta berupaya membatasi kenaikaan hingga 1,5 derajat Celcius.
Indonesia mentargetkan ratifikasi selesai November mendatang, sebelum pertemuan tentang perubahan iklim Conference of Parties (COP) ke-22 di Marrakech.