Senin 05 Sep 2016 14:12 WIB

Warga Filipina Takut Kritik Perang Narkoba Duterte

Aktivis Filipina meneriakkan tuntutan mengakhiri pembunuhan terkait perang narkoba yang digalakkan Presidan Rodrigo Duterte di luar markas polisi Camp Crame di Kota Quezon, Manila, Filipina, 24 Agustus 2016.
Foto:

Duterte kemungkinan akan semakin memperkeras kebijakannya setelah munculnya serangan bom oleh kelompok Abu Sayyaf di kota kelahiran, Davao yang menewaskan 14 orang. Duterte kemudian menyatakan keadaan darurat nasional dan mengizinkan tentara untuk membantu kepolisian berpatroli dan berjaga di sejumlah titik.

Sejumlah aktivis mengaku telah mendokumentasikan ratusan pembunuhan mencurigakan oleh sekelompok penjagal di Davao saat Duterte menjadi wali kota. Duterte membantah telah menginstruksikan pembunuhan tersebut namun tidak mengecamnya. Selain itu, para penjagal juga bergerak dengan pembiaran.

Cara tersebut kini diterapkan di tingkat nasional dengan sangat cepat. Di banyak daerah, daftar pengedar narkotika diserahkan kepada polisi oleh masyarakat setempat sehingga memunculkan ketakutan dan ketidakpercayaan di antara sesama masyarakat.

Kepala IAS, Leo Angelo Leuterio, mengatakan bertanggung jawab untuk menyelidiki semua penembakan yang melibatkan kepolsiain. Namun dengan personel yang hanya 170 orang, IAS hanya bisa menangani 30 persen dari sekitar 30 kasus yang muncul setiap hari.

Kepala IAS seharusnya berasal dari kalangan sipil untuk memastikan independensi. Namun Leuterio sendiri adalah polisi yang menghabiskan 13 tahun karirnya di tempat kelahiran Duterte, Davao.

Komisi HAM, CHR, hanya menangani 259 dari 2.000 lebih pembunuhan sejak 1 Juli. CHR mengaku tantangan utama mereka adalah kesulitan mencari saksi.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement